Berita Baznas
Jakarta (22/3). Pengurus BAZNAS terdiri dari Husein Ibrahim, Naharus Surur, Emmy Hamidiyah dan M. Fuad Nasar, Senin pagi, diterima Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi di Kantor Sekretariat Negara RI.
Pengurus BAZNAS melaporkan perkembangan pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS sampai saat ini. Di samping itu, rencana Talkshow Zakat Bersama Presiden RI dalam rangkaian acara Rapat Koordinasi Nasional BAZNAS dengan BAZDA dari seluruh Indonesia yang akan berlangsung di Jakarta pertengahan pekan ini. Selain itu menyampaikan beberapa masukan dan usulan kebijakan untuk penguatan BAZNAS dan optimalisasi pengelolaan zakat ke depan.
Mensesneg menekankan perluya hubungan terstruktur antara BAZNAS dan BAZDA dengan masjid-masjid. Dari seluruh umat Islam Indonesia, 100 juta orang saja yang benar-benar melaksanakan ajaran Islam, khususnya mengeluarkan zakat 2,5 persen dari hartaya, berapa besarnya zakat yang bisa terkumpul. Persoalan berikutnya yang perlu dibenahi adalah bagaimana supaya dana zakat itu terkelola dengan baik. Di sisi lain, sosialisasi zakat perlu mendapat perhatian yang lebih besar, ujar menteri.
Sudi Silalahi mendorong dilakukannya upaya menstrukturkan BAZNAS dan BAZDA sampai ke masjid di kampung-kampung. Di masjid yang tidak ada mustahaq-nya, dana zakat yang terkumpul disetorkan ke BAZNAS. Demikian pula BAZ Provinsi yang surplus dana zakatnya disetorkan ke BAZNAS sehingga dapat disalurkan ke daerah lain yang membutuhkan, kata beliau.
Untuk itu Mensesneg pada prinsipnya mendukung perubahan regulasi, yaitu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden ataupun Peraturan Menteri mengenai pengelolaan zakat, yang pelaksanaanya harus dikoordinasikan dengan kementerian terkait. Ia juga memandang perlunya BAZNAS melakukan studi banding untuk mempelajari sistem pengelolaan zakat di negara lain dalam rangka mencari format yang lebih sesuai untuk diterapkan di negara kita. (Mfns).
Kantor Pengurusan Zakat,Infaq dan shadaqah (ZIS) Kab. Aceh Selatan
Rabu, 28 April 2010
INDONESIA HADIRI MUKTAMAR ZAKAT INTERNASIONAL DI BEIRUT
Berita Baznas
Persoalan zakat ternyata telah menjadi persoalan yang sangat serius, yang tidak bisa ditangani oleh masing-masing negara Islam secara individu, namun juga memerlukan adanya kerjasama pada tataran internasional. Dalam konteks inilah, Zakat House Kuwait bekerjasama dengan Badan Zakat Lebanon menggelar muktamar zakat internasional di Beirut pada tanggal 29-30 Maret 2010. Pada acara yang menurut rencana akan dibuka oleh PM Lebanon Saad Hariri tersebut, panitia penyelenggara telah mengundang 23 negara, termasuk Indonesia, untuk bersama-sama membahas perkembangan zakat kontemporer sekaligus membicarakan peluang kerjasama zakat internasional.
Terkait dengan hal tersebut, Menag Suryadharma Ali telah mewakilkan kepada Ketua BAZNAS KH Didin Hafidhuddin, yang didampingi Irfan Syauqi Beik (Staf Khusus Ketua BAZNAS), untuk menjadi delegasi resmi pemerintah pada konferensi tersebut. Didin akan menyampaikan makalah tentang pengalaman Indonesia di dalam mengelola zakat. Beberapa poin penting yang akan disampaikan antara lain, menurut Didin, adalah tentang perlunya meningkatkan sinergi antar negara di dalam mendayagunakan zakat. Keberhasilan beberapa negara di dalam mengelola zakat harus dijadikan sebagai model percontohan bagi negara-negara lain. Hingga saat ini, masing-masing negara memiliki model pengelolaan yang berbeda-beda.
Untuk Indonesia sendiri, Didin menyatakan bahwa pola pemberdayaan zakat dilakukan melalui program-program yang bersifat konsumtif dan produktif. Hasilnya menurut Didin, mengutip riset disertasi Beik (2010), program zakat di DKI Jakarta mampu mengurangi angka kemiskinan mustahik sebesar 16.97 persen. Didin berharap, dengan zakat yang dikelola dengan baik ini, kemiskinan di dunia Islam dapat diatasi.
Di sela-sela konferensi tersebut, Ketua BAZNAS juga mengadakan silaturahmi dengan masyarakat Indonesia di Beirut bertempat di Aula KBRI Beirut.
Persoalan zakat ternyata telah menjadi persoalan yang sangat serius, yang tidak bisa ditangani oleh masing-masing negara Islam secara individu, namun juga memerlukan adanya kerjasama pada tataran internasional. Dalam konteks inilah, Zakat House Kuwait bekerjasama dengan Badan Zakat Lebanon menggelar muktamar zakat internasional di Beirut pada tanggal 29-30 Maret 2010. Pada acara yang menurut rencana akan dibuka oleh PM Lebanon Saad Hariri tersebut, panitia penyelenggara telah mengundang 23 negara, termasuk Indonesia, untuk bersama-sama membahas perkembangan zakat kontemporer sekaligus membicarakan peluang kerjasama zakat internasional.
Terkait dengan hal tersebut, Menag Suryadharma Ali telah mewakilkan kepada Ketua BAZNAS KH Didin Hafidhuddin, yang didampingi Irfan Syauqi Beik (Staf Khusus Ketua BAZNAS), untuk menjadi delegasi resmi pemerintah pada konferensi tersebut. Didin akan menyampaikan makalah tentang pengalaman Indonesia di dalam mengelola zakat. Beberapa poin penting yang akan disampaikan antara lain, menurut Didin, adalah tentang perlunya meningkatkan sinergi antar negara di dalam mendayagunakan zakat. Keberhasilan beberapa negara di dalam mengelola zakat harus dijadikan sebagai model percontohan bagi negara-negara lain. Hingga saat ini, masing-masing negara memiliki model pengelolaan yang berbeda-beda.
Untuk Indonesia sendiri, Didin menyatakan bahwa pola pemberdayaan zakat dilakukan melalui program-program yang bersifat konsumtif dan produktif. Hasilnya menurut Didin, mengutip riset disertasi Beik (2010), program zakat di DKI Jakarta mampu mengurangi angka kemiskinan mustahik sebesar 16.97 persen. Didin berharap, dengan zakat yang dikelola dengan baik ini, kemiskinan di dunia Islam dapat diatasi.
Di sela-sela konferensi tersebut, Ketua BAZNAS juga mengadakan silaturahmi dengan masyarakat Indonesia di Beirut bertempat di Aula KBRI Beirut.
Jumat, 16 April 2010
WAJIBKAH ZAKAT GAJI...???
Armiadi - Opini
“Dakwa dakwi” tentang pemungutan zakat gaji atas pegawai negeri sipil (PNS) terus terjadi. Di Pidie Jaya seperti dilansir hari ini ketika kasus seorang guru SMAN 1 Meuredu dengan wakil Bupati Pidie Jaya, M Yusuf Ibrahim. Ujungnya, si guru dimutasi ke wilayah udik di Jiem Jiem (Serambi, 28/01/2010). Masalahnya, ini jarang dibahas bagaimana zakat gaji menurut hukum fiqih.
Dalam kasus di Pidie Jaya, sang guru menolak membayar zakat gaji dengan dalih bahwa itu, harus ada satu ijtihad baru ulama. Namun MPU Pidie Jaya, menurutnya tidak memenuhi syarat untuk melakukan itu. Memang kasus itu sebagai masalah ijtihadi. Tentu kita tidak perlu repot untuk membahasnya karena sudah tunta dikaji. Apalagi hanya bertujuan untuk membantah dan mencari dalil denga pendapat pribadi, lalu meminta pihak lain untuk berijtihad.
Merujuk pada berbagai sumber fiqh, hukum zakat gaji atau jasa, penghasilan, profesi tidak bergeser dari dua macam pandangan ulama, yaitu antara wajib dan tidak wajib. Masing-masing golongan ulama memberi argumentasi yang berbeda. Jika ditelusuri yang menjadi punca perbedaan pendapat pada zakat gaji, profesi, jasa atau penghasilan antara lain adalah pada syarat haul, apakah diqiyaskan kepada zakat emas atau diqiyaskan kepada zakat pertanian atau diqiyaskan kepada keduanya.
Para ulama mazhab bukan menolak adanya zakat gaji juga bukan membolehkan untuk dipungut. Hanya saja tak pernah membahasnya secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Masalahya karea hal itu belum menjadi sumber penghasilan utama dan sektor rill ketika itu. Para ulama mazhab lebih cenderung membahas sumber-sumber zakat yang disebut secara eksplisit di dalam nash, baik Alquran maupun hadis. Sumber zakat dimaksud, disebut zakat ittifaq. Artinya sumber zakat yang disepakati dan tak ada satupun ulama yang berselisih pendapat tentangnya. Mereka mencoba memahami dengan berbagai metode istimbath (menyimpulkan hukum, red).yang dikaitkan dengan kondisi sosio-ekonomi masa itu.
Sebagian ulama sekarang yang tidak mewajibkan zakat gaji atau profesi. Alasanny, tidak pernah dipraktikkan pada masa Rasulullah atau masa-masa awal pemerintahan Islam dan tidak ditemukan nash yang sharih secara khusus. Namun pandangan ulama ini jarang ditemukan dalam literatur-literatur fiqh. Sebaliknya pandangan sebagian ulama yang lain lebih cenderung mewajibkan zakat gaji/profesi dalam karya-karya mereka dengan melakukan berbagai cara istimbath. Untuk memperjelas status hukum tentang zakat gaji, penghasilan, profesi tersebut rasanya perlu kita rujuk kepada berbagai sumber baik klasik maupun kontemporer.
Sumber hukumnya
Berdasarkan nash umum (ummumul ayyah). Firman Allah swt (Q.S, Al- Baqarah: 267, dan al-Zariyat: 19), dapat dipahami oleh sebagian ulama sebagai zakat dari berbagai sumber penghasilan. Pemahaman melalui umumul ayyah atau dengan cara ma’qul al-makna (mencari substansi makna), seperti ini menjadi salah satu pola istimbath hukum yang dilakukan oleh mazhab Hanafi. Pola ini dilakukan oleh para ulama tafsir. Di antaranya pandangan Sayyid Qutub, tentang ayat 267 surat al-Baqarah, Zakat diwajibkan dari semua jenis pendapatan (Tafsir Fi Dhilalil Qur’an),. Demikian juga Al-Qurtubi, tentang haqqum ma’lum dalam surat al-zariat ayat 19 diartikan sebagai zakat dari semua penghasilan, (Tafsir al-Jami’ liahkamil Qur’an).
Landasan zakat profesi dianalogikan kepada dua sifat qiyas. Pertama tentang waktu pembayaran diqiyaskan kepada zakat pertanian yaitu dibayarkan ketika mendapatkan hasilnya (panen). Kedua nishab dan kadar zakatnya dianalogikan kepada zakat emas yaitu seharga 94 gram emas sedangkan kadar zakatnya sebesar 2,5 persen (qaedah qiyas al-syabah : Didin Hafidzudin, Sumber Zakat Dalam Perekonomian Modern).
Menurut Yusuf Qardhawi, penghasilan gaji disebut sebagai mal-mustafad’. Seperti gaji pegawai, upah buruh, penghasilan dokter, pengacara, pemborong dan penghasilan modal di luar perdagangan, penghasilan profesi dan lainnya, wajib dikenakan zakat dan tidak disyaratkan sampai setahun, akan tetapi dizakati pada waktu menerima pendapatan tersebut. Dari berbagai pendapat yang dikumpulkan Qardhawi, pendapat yang rajih (kuat) menurut beliau adalah: ‘Wajib zakat gaji, penghasilan, profesi atau jasa ketika saat diterima tanpa memerlukan syarat haul. Ini berdasarkan kepada pendapat sebagian sahabat terutama Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Mu’awiyah, sebagian tabi’in seperti Hasan Basri dan Umar Bin Abdul Aziz (Qardhawi : Fiqh Zakat).
Wahbah Zuhaily, dalam al-Fiqh al-Islamy wa’adillatuh, menyebutkan zakat gaji termasuk dalam jenis al- mal al-mustafat. Sedangkan Ibnu Qayyim, mengaitkannya pada harta kekayaan yang berbazis aktivitas ekonomi. Sumber kontemporer lainnya adalah Fatwa Ulama Dunia dari hasil Muktamar I tentang Zakat di Kuwait, 20 Rajab 1404/30 April 1984, salah satu keputusan tersebut adalah ‘Mewajibkan Zakat gaji/profesi.
Sebagian ulama memandang zakat gaji/perofesi dalam tiga hal. Pertama, tidak ada dalil zakat profesi, tetapi dianjurkan untuk menunaikannya. Kedua, wajib zakat profesi, dengan alasan untuk maslahah masyarakat. Ketiga, wajib zakat profesi, alasan nash Alquran (ummumul ayyah) dan ijtihad ulama. Jadi, dapat dipahami bahwa zakat, dikenakan atas suatu harta berdasarkan kepada dua kaidah. Pertama, berdasarkan nash qath’i dari Alquran dan hadis, sebagai sumber ittifaq, jelas dan terang). Kedua, tidak ada nash yang jelas, maka digunakan qaedah Qiyas, misalnya gaji/penghasilan diqiyaskan kepada emas,perak sebagai pendapatan dalam bentuk uang.
Adapun kaidah dari nash didasarkan pada prinsip-prinsip; (1) Memiliki kekayaan di atas nisab’, dalam hal ini untuk nishab zakat gaji adalah di atas 94 gram emas; (2) Al-nama’, dimana harta yang berkembang atau memiliki potensi untuk berkembang dan uang diangap memiliki potensi untuk berkembang; dan (3) Prinsip menguntungkan fakir miskin. Ini bila terdapat dua sebab illat wajib zakatatau terdapat perselihan ulama tentang wajib zakat maka mana yang lebih menguntungkan fakir-miskin yang dipilih.
Di Indonesia, pemungutan zakat gaji/penghasilan diatur dalam Undang-undang Nomor 38/1999, tentang Pengelolaan Zakat. Turunannya adalah Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 /1999, tentang Pelaksanaan UU. No. 38/1999, dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Haji, No. D/291/2000, tentang Pedoman Teknis pengelolaan Zakat.
Khusus untuk Aceh, selain undang-undang yang berlaku secara nasional, Aceh memiliki sejumlah peraturan dalam bentuk qanun, peraturan Gubernur, bahkan setingkat undang-undang, di antaranya Keputusan Gubernur NAD No. 18/2003, tentang Tata kerja Badan Baitul Mal NAD, Qanun No. 7/2004, Tentang Pengelolaan Zakat di Aceh, diganti dengan Qanun no. 10/2007, tentang Baitul Mal, Peraturan Gubernur No.60/2008, Tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat, Instruksi Gubernur No. 06/2008, Tentang Pemungutan zakat penghasilan dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), Karyawan di lingkungan pemerintah, Instruksi Gubernur Provinsi NAD No. 12/2005 tentang Pemotongan Zakat Gaji dan Honorarium bagi setiap PNS dan pejabat di lingkungan pemerintah Aceh bahkan pasal 191-192 Undang-Undang No. 11/2005, Tentang Pemerintahan Aceh.
Fatwa ulama Aceh
Fatwa ulama (MUI) Aceh tentang wajibnya zakat dari sektor jasa atau gaji diputuskan dalam rapat komisi B (fatwa/hukum), nomor 01/1998, hari jumat tanggal 2 Rabi’ul awal 1419 H/26 Juni 1998 M). Antara lain disebutkan, pembayaran/pemungutan zakat gaji tersebut dianjurkan pada setiap kali memperoleh penghasilan sebagai ta’jil/taq.sith.
MUI Daerah Istimewa Aceh sebelumnya telah mengeluarkan sejumlah fatwa tentang zakat, yaitu: Fatwa tahun 1974 tentang zakat pertanian, fatwa tahun 1978 tentang dan 1981 tentang zakat jasa, fatwa tahun 1983 sebagai penyempurnaan fatwa tahun 1978, fatwa tahun 1983 tentang teknik pengumpulan dan pendayagunaan zakat, fatwa tahun 1994 tentang penyempurnaan nishab zakat jasa dan cara pembayarannya dan fatwa tahun 1994 tentang dasar perhitungan nishab zakat jasa. Sumber hukumnya sudah jelas, lalu kenapa kita harus berdakwa-dakwi? Sebuah adagium fiqh mengatakan ‘hukmul hakim yarfa’ul khilaf’ artinya keputusan pemerintah itu dapat menghilangkan perbedaan pendapat yang ada.
* Penulis adalah dosen pada IAIN Ar-Raniry.
“Dakwa dakwi” tentang pemungutan zakat gaji atas pegawai negeri sipil (PNS) terus terjadi. Di Pidie Jaya seperti dilansir hari ini ketika kasus seorang guru SMAN 1 Meuredu dengan wakil Bupati Pidie Jaya, M Yusuf Ibrahim. Ujungnya, si guru dimutasi ke wilayah udik di Jiem Jiem (Serambi, 28/01/2010). Masalahnya, ini jarang dibahas bagaimana zakat gaji menurut hukum fiqih.
Dalam kasus di Pidie Jaya, sang guru menolak membayar zakat gaji dengan dalih bahwa itu, harus ada satu ijtihad baru ulama. Namun MPU Pidie Jaya, menurutnya tidak memenuhi syarat untuk melakukan itu. Memang kasus itu sebagai masalah ijtihadi. Tentu kita tidak perlu repot untuk membahasnya karena sudah tunta dikaji. Apalagi hanya bertujuan untuk membantah dan mencari dalil denga pendapat pribadi, lalu meminta pihak lain untuk berijtihad.
Merujuk pada berbagai sumber fiqh, hukum zakat gaji atau jasa, penghasilan, profesi tidak bergeser dari dua macam pandangan ulama, yaitu antara wajib dan tidak wajib. Masing-masing golongan ulama memberi argumentasi yang berbeda. Jika ditelusuri yang menjadi punca perbedaan pendapat pada zakat gaji, profesi, jasa atau penghasilan antara lain adalah pada syarat haul, apakah diqiyaskan kepada zakat emas atau diqiyaskan kepada zakat pertanian atau diqiyaskan kepada keduanya.
Para ulama mazhab bukan menolak adanya zakat gaji juga bukan membolehkan untuk dipungut. Hanya saja tak pernah membahasnya secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Masalahya karea hal itu belum menjadi sumber penghasilan utama dan sektor rill ketika itu. Para ulama mazhab lebih cenderung membahas sumber-sumber zakat yang disebut secara eksplisit di dalam nash, baik Alquran maupun hadis. Sumber zakat dimaksud, disebut zakat ittifaq. Artinya sumber zakat yang disepakati dan tak ada satupun ulama yang berselisih pendapat tentangnya. Mereka mencoba memahami dengan berbagai metode istimbath (menyimpulkan hukum, red).yang dikaitkan dengan kondisi sosio-ekonomi masa itu.
Sebagian ulama sekarang yang tidak mewajibkan zakat gaji atau profesi. Alasanny, tidak pernah dipraktikkan pada masa Rasulullah atau masa-masa awal pemerintahan Islam dan tidak ditemukan nash yang sharih secara khusus. Namun pandangan ulama ini jarang ditemukan dalam literatur-literatur fiqh. Sebaliknya pandangan sebagian ulama yang lain lebih cenderung mewajibkan zakat gaji/profesi dalam karya-karya mereka dengan melakukan berbagai cara istimbath. Untuk memperjelas status hukum tentang zakat gaji, penghasilan, profesi tersebut rasanya perlu kita rujuk kepada berbagai sumber baik klasik maupun kontemporer.
Sumber hukumnya
Berdasarkan nash umum (ummumul ayyah). Firman Allah swt (Q.S, Al- Baqarah: 267, dan al-Zariyat: 19), dapat dipahami oleh sebagian ulama sebagai zakat dari berbagai sumber penghasilan. Pemahaman melalui umumul ayyah atau dengan cara ma’qul al-makna (mencari substansi makna), seperti ini menjadi salah satu pola istimbath hukum yang dilakukan oleh mazhab Hanafi. Pola ini dilakukan oleh para ulama tafsir. Di antaranya pandangan Sayyid Qutub, tentang ayat 267 surat al-Baqarah, Zakat diwajibkan dari semua jenis pendapatan (Tafsir Fi Dhilalil Qur’an),. Demikian juga Al-Qurtubi, tentang haqqum ma’lum dalam surat al-zariat ayat 19 diartikan sebagai zakat dari semua penghasilan, (Tafsir al-Jami’ liahkamil Qur’an).
Landasan zakat profesi dianalogikan kepada dua sifat qiyas. Pertama tentang waktu pembayaran diqiyaskan kepada zakat pertanian yaitu dibayarkan ketika mendapatkan hasilnya (panen). Kedua nishab dan kadar zakatnya dianalogikan kepada zakat emas yaitu seharga 94 gram emas sedangkan kadar zakatnya sebesar 2,5 persen (qaedah qiyas al-syabah : Didin Hafidzudin, Sumber Zakat Dalam Perekonomian Modern).
Menurut Yusuf Qardhawi, penghasilan gaji disebut sebagai mal-mustafad’. Seperti gaji pegawai, upah buruh, penghasilan dokter, pengacara, pemborong dan penghasilan modal di luar perdagangan, penghasilan profesi dan lainnya, wajib dikenakan zakat dan tidak disyaratkan sampai setahun, akan tetapi dizakati pada waktu menerima pendapatan tersebut. Dari berbagai pendapat yang dikumpulkan Qardhawi, pendapat yang rajih (kuat) menurut beliau adalah: ‘Wajib zakat gaji, penghasilan, profesi atau jasa ketika saat diterima tanpa memerlukan syarat haul. Ini berdasarkan kepada pendapat sebagian sahabat terutama Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Mu’awiyah, sebagian tabi’in seperti Hasan Basri dan Umar Bin Abdul Aziz (Qardhawi : Fiqh Zakat).
Wahbah Zuhaily, dalam al-Fiqh al-Islamy wa’adillatuh, menyebutkan zakat gaji termasuk dalam jenis al- mal al-mustafat. Sedangkan Ibnu Qayyim, mengaitkannya pada harta kekayaan yang berbazis aktivitas ekonomi. Sumber kontemporer lainnya adalah Fatwa Ulama Dunia dari hasil Muktamar I tentang Zakat di Kuwait, 20 Rajab 1404/30 April 1984, salah satu keputusan tersebut adalah ‘Mewajibkan Zakat gaji/profesi.
Sebagian ulama memandang zakat gaji/perofesi dalam tiga hal. Pertama, tidak ada dalil zakat profesi, tetapi dianjurkan untuk menunaikannya. Kedua, wajib zakat profesi, dengan alasan untuk maslahah masyarakat. Ketiga, wajib zakat profesi, alasan nash Alquran (ummumul ayyah) dan ijtihad ulama. Jadi, dapat dipahami bahwa zakat, dikenakan atas suatu harta berdasarkan kepada dua kaidah. Pertama, berdasarkan nash qath’i dari Alquran dan hadis, sebagai sumber ittifaq, jelas dan terang). Kedua, tidak ada nash yang jelas, maka digunakan qaedah Qiyas, misalnya gaji/penghasilan diqiyaskan kepada emas,perak sebagai pendapatan dalam bentuk uang.
Adapun kaidah dari nash didasarkan pada prinsip-prinsip; (1) Memiliki kekayaan di atas nisab’, dalam hal ini untuk nishab zakat gaji adalah di atas 94 gram emas; (2) Al-nama’, dimana harta yang berkembang atau memiliki potensi untuk berkembang dan uang diangap memiliki potensi untuk berkembang; dan (3) Prinsip menguntungkan fakir miskin. Ini bila terdapat dua sebab illat wajib zakatatau terdapat perselihan ulama tentang wajib zakat maka mana yang lebih menguntungkan fakir-miskin yang dipilih.
Di Indonesia, pemungutan zakat gaji/penghasilan diatur dalam Undang-undang Nomor 38/1999, tentang Pengelolaan Zakat. Turunannya adalah Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 /1999, tentang Pelaksanaan UU. No. 38/1999, dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Haji, No. D/291/2000, tentang Pedoman Teknis pengelolaan Zakat.
Khusus untuk Aceh, selain undang-undang yang berlaku secara nasional, Aceh memiliki sejumlah peraturan dalam bentuk qanun, peraturan Gubernur, bahkan setingkat undang-undang, di antaranya Keputusan Gubernur NAD No. 18/2003, tentang Tata kerja Badan Baitul Mal NAD, Qanun No. 7/2004, Tentang Pengelolaan Zakat di Aceh, diganti dengan Qanun no. 10/2007, tentang Baitul Mal, Peraturan Gubernur No.60/2008, Tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat, Instruksi Gubernur No. 06/2008, Tentang Pemungutan zakat penghasilan dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), Karyawan di lingkungan pemerintah, Instruksi Gubernur Provinsi NAD No. 12/2005 tentang Pemotongan Zakat Gaji dan Honorarium bagi setiap PNS dan pejabat di lingkungan pemerintah Aceh bahkan pasal 191-192 Undang-Undang No. 11/2005, Tentang Pemerintahan Aceh.
Fatwa ulama Aceh
Fatwa ulama (MUI) Aceh tentang wajibnya zakat dari sektor jasa atau gaji diputuskan dalam rapat komisi B (fatwa/hukum), nomor 01/1998, hari jumat tanggal 2 Rabi’ul awal 1419 H/26 Juni 1998 M). Antara lain disebutkan, pembayaran/pemungutan zakat gaji tersebut dianjurkan pada setiap kali memperoleh penghasilan sebagai ta’jil/taq.sith.
MUI Daerah Istimewa Aceh sebelumnya telah mengeluarkan sejumlah fatwa tentang zakat, yaitu: Fatwa tahun 1974 tentang zakat pertanian, fatwa tahun 1978 tentang dan 1981 tentang zakat jasa, fatwa tahun 1983 sebagai penyempurnaan fatwa tahun 1978, fatwa tahun 1983 tentang teknik pengumpulan dan pendayagunaan zakat, fatwa tahun 1994 tentang penyempurnaan nishab zakat jasa dan cara pembayarannya dan fatwa tahun 1994 tentang dasar perhitungan nishab zakat jasa. Sumber hukumnya sudah jelas, lalu kenapa kita harus berdakwa-dakwi? Sebuah adagium fiqh mengatakan ‘hukmul hakim yarfa’ul khilaf’ artinya keputusan pemerintah itu dapat menghilangkan perbedaan pendapat yang ada.
* Penulis adalah dosen pada IAIN Ar-Raniry.
Yang Berhak Mendapatkan Zakat
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (At-Taubah : 103)
Ayat diatas adalah perintah kepada kita untuk menunaikan zakat, yang juga merupakan rukun islam yang ke 4. lalu siapakah yang berhak mendapatkan zakat ?
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."(At-Taubah : 60)
Darri ayat diatas jelaslah bahwa yang berhak mendapatkan zakat adalah :
1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus zakat : orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Ayat diatas adalah perintah kepada kita untuk menunaikan zakat, yang juga merupakan rukun islam yang ke 4. lalu siapakah yang berhak mendapatkan zakat ?
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."(At-Taubah : 60)
Darri ayat diatas jelaslah bahwa yang berhak mendapatkan zakat adalah :
1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus zakat : orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Kemiskinan Akan Teratasi Bila Zakat Dioptimalkan
Friday, 05 October 2007 10:00
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar menegaskan, masalah kemiskinan yang mendera
umat Islam di Aceh sebagai akibat tsunami dan konflik berkepanjangan, akan mampu teratasi jika saja potensi zakat, harta wakaf dan harga agama dapat dihimpun secara optimal, sesuai amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Banda Aceh,
WASPADA Online Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar menegaskan, masalah kemiskinan yang menderaumat Islam di Aceh sebagai akibat tsunami dan konflik berkepanjangan, akan mampu teratasi jika saja potensi zakat, harta wakaf dan harga agama dapat dihimpun secara optimal, sesuai amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Penegasan itu disampaikan Wakil Gubernur pada sosialisasi kesadaran zakat dengan
organisasi profesi dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dilanjutkan dengan buka puasa bersama di pendopo Wakil Gubernur Aceh, Rabu (3/10).
Disebutkan, kegiatan zakat, infaq dan sadaqah di dalam Islam yang telah diberikan oleh Allah SWT adalah untuk mengentaskan kemiskinan dan membangkitkan solidaritas serta kedermawanan di muka bumi ini, khususnya terhadap ummat Islam sendiri. Selain itu, zakat juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengantisipasi krisis kemiskinan.
"Apabila semua orang kaya, semua pengusaha dan saudagar muslim termasuk di Aceh
misalnya, mau membayar zakat maka ini akan memiliki potensi yang luar biasa. Apalagi
pengusaha muslim yang berasal dari luar Aceh tetapi melakukan usaha di Aceh dan mau
membayar zakat di Aceh, saya kira ini akan sangat baik dan ini memang harus
dilakukan," ujarnya menjawab pertanyaan Waspada.
Kaitannya dengan perpajakan, menurut Muhammad Nazar, untuk Aceh nantinya dapat dibuat peraturan sebagaimana UUPA bahwa zakat—khususnya untuk pengusaha muslim—dapat
menjadi faktor pengurangan pajak. "Kita mengharapkan budaya dan tradisi membayar
zakat serta mewakafkan harta, tradisi melakukan infak dan sadaqah supaya terus tumbuh di kalangan masyarakat Aceh, karena semua itu adalah untuk mensucikan harta yang kita
miliki," pintanya.
Sementara Rektor IAIN Ar Raniry H Yusni Saby yang ditemui Waspada di tempat yang sama menyebutkan, sosialisasi yang dilakukan pada hari itu akan menambah kesadaran masyarakat di Aceh untuk membayar zakat, karena selama ini yang dianggap objek zakat adalah petani padi. Namun sekarang, para ulama telah mengembangkan tidak hanya petani padi, tetapi juga petani cengkeh, petani pala dan sebagainya.
"Sekarang pedagang, pedagang sebenarnya mereka itu membayar zakat. Hanya saja
selama ini mereka membayarnya sendiri-sendiri atau membaginya sendiri-sendiri. Ke depan kita berharap ini tidak seperti itu lagi, zakat para pedagang ini dikutip dan didistribusikan oleh
lembaga," ujarnya.
Menurut H Yusni Sabi, ada dua potensi dalam hal membayar zakat. Pertama mensucikan
harta si pembayar zakat dan kedua dari zakat itu akan lahir kesejahteraan. "Zakat
1 / 2
Kemiskinan Akan Teratasi Bila Zakat Dioptimalkan Friday, 05 October 2007 10:00 dikonsumtif boleh, tetapi sebahagian saja, sebahagian lagi digunakan untuk pertumbuhan.
Dengan semakin banyak saudagar kita (Aceh) membayar zakat, maka idealnya kemiskinan
akan berkurang.
Mudah-mudahan ini bisa dicapai dan bisa direalisir oleh para saudagar kita," tambahnya.
Sementara Ketua Kadinda Aceh H Firmandez mengungkapkan, pranata zakat secara
operasional telah ada seperti Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2004 tentang Zakat, namun perlu disosialisasikan kepada para pelaku bisnis di Aceh. Hal ini dimaksudkan agar pengumpulan zakat secara tersistem dalam kelembagaan resmi dan terjamin akuntabilitas publik secara syariah.
Menyangkut kerjasama Kadin Aceh dengan Baitul Mal Aceh dalam hal pengumpulan zakat
dari para pengusaha atau anggota organisasi itu, H Firmandez mengatakan, di masing-masing kantor Kadin di Aceh nanti akan ada Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang akn bertugas mengumpulkan zakat dari anggota dan menyerahkan kepada Baitul Mal setempat.
Kepala Baitul Mal Aceh Amrullah dalam laporannya menyebutkan, program kerja sama Baitul Mal dengan para pengusaha yang tergabung dalam organisasi Kadin Aceh telah dirintis sejak 2003 dengan mengadakan 'Malam Sayang Duafa'. Kegiatan itu semakin mengkristal dua tahun lalu, berupa kesepakatan untuk membayar infak sebesar setengah persen dari setiap rekanan Pemda yang mempunyai tagihan di atas Rp20 juta.
Kesepakatan itu tertuang dalam Ingub Aceh Nomor 13/2005 tentang Pemotongan Infak dari Perusahaan yang Mendapat Pekerjaan dari Pemda.
Dijelaskan, hasil pengumpulan dana infak dari para rekanan Pemprov Aceh pada Tahun 2005 berjumlah Rp. 1.033.011.000 dan Tahun 2006 senilai Rp2.547.439.000. Sedang Tahun 2007 belum dibukukan.
Dari jumlah tersebut, Rp1,4 miliar di antaranya telah dikeluarkan untuk pengadaan empat hektare tanah berlokasi di Jalan Banda Aceh-Krueng Raya, Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, untuk pembangunan tempat pengasuhan anak korban tsunami/korban
konflik Aceh.
Selain itu, Rp150 juta untuk pembuatan topography, penetapan batas, biaya surat-surat tanah
dan ganti rugi untuk tanah wakaf seluar satu hektare. Sedangkan hasil pengumpulan zakat oleh
Baitul Mal Aceh pada tahun 2004 berjumlah Rp1,3 miliar, tahun 2005 Rp1,3 miliar, tahun 2006
Rp2,1 miliar dan tahun 2007 sampai dengan Agustus Rp1,2 miliar.
"Jumlah zakat tersebut hampir seluruhnya sudah disalurkan kepada mustahik yang
ditetapkan Dewan Syariah untuk setiap tahunnya," kata Amrullah.
Pada sosialisasi kesadaran zakat dengan organisasi profesi dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang dilanjutkan dengan buka puasa bersama, turut sejumlah anggota DPR Aceh
dan pengurus Kadinda serta pengusaha Aceh itu, juga dilakukan penandatanganan MoU
pengumpulan zakat antara kepala Baitul Mal Aceh dengan Ketua Kadin Aceh. (b09)
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar menegaskan, masalah kemiskinan yang mendera
umat Islam di Aceh sebagai akibat tsunami dan konflik berkepanjangan, akan mampu teratasi jika saja potensi zakat, harta wakaf dan harga agama dapat dihimpun secara optimal, sesuai amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Banda Aceh,
WASPADA Online Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar menegaskan, masalah kemiskinan yang menderaumat Islam di Aceh sebagai akibat tsunami dan konflik berkepanjangan, akan mampu teratasi jika saja potensi zakat, harta wakaf dan harga agama dapat dihimpun secara optimal, sesuai amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Penegasan itu disampaikan Wakil Gubernur pada sosialisasi kesadaran zakat dengan
organisasi profesi dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dilanjutkan dengan buka puasa bersama di pendopo Wakil Gubernur Aceh, Rabu (3/10).
Disebutkan, kegiatan zakat, infaq dan sadaqah di dalam Islam yang telah diberikan oleh Allah SWT adalah untuk mengentaskan kemiskinan dan membangkitkan solidaritas serta kedermawanan di muka bumi ini, khususnya terhadap ummat Islam sendiri. Selain itu, zakat juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengantisipasi krisis kemiskinan.
"Apabila semua orang kaya, semua pengusaha dan saudagar muslim termasuk di Aceh
misalnya, mau membayar zakat maka ini akan memiliki potensi yang luar biasa. Apalagi
pengusaha muslim yang berasal dari luar Aceh tetapi melakukan usaha di Aceh dan mau
membayar zakat di Aceh, saya kira ini akan sangat baik dan ini memang harus
dilakukan," ujarnya menjawab pertanyaan Waspada.
Kaitannya dengan perpajakan, menurut Muhammad Nazar, untuk Aceh nantinya dapat dibuat peraturan sebagaimana UUPA bahwa zakat—khususnya untuk pengusaha muslim—dapat
menjadi faktor pengurangan pajak. "Kita mengharapkan budaya dan tradisi membayar
zakat serta mewakafkan harta, tradisi melakukan infak dan sadaqah supaya terus tumbuh di kalangan masyarakat Aceh, karena semua itu adalah untuk mensucikan harta yang kita
miliki," pintanya.
Sementara Rektor IAIN Ar Raniry H Yusni Saby yang ditemui Waspada di tempat yang sama menyebutkan, sosialisasi yang dilakukan pada hari itu akan menambah kesadaran masyarakat di Aceh untuk membayar zakat, karena selama ini yang dianggap objek zakat adalah petani padi. Namun sekarang, para ulama telah mengembangkan tidak hanya petani padi, tetapi juga petani cengkeh, petani pala dan sebagainya.
"Sekarang pedagang, pedagang sebenarnya mereka itu membayar zakat. Hanya saja
selama ini mereka membayarnya sendiri-sendiri atau membaginya sendiri-sendiri. Ke depan kita berharap ini tidak seperti itu lagi, zakat para pedagang ini dikutip dan didistribusikan oleh
lembaga," ujarnya.
Menurut H Yusni Sabi, ada dua potensi dalam hal membayar zakat. Pertama mensucikan
harta si pembayar zakat dan kedua dari zakat itu akan lahir kesejahteraan. "Zakat
1 / 2
Kemiskinan Akan Teratasi Bila Zakat Dioptimalkan Friday, 05 October 2007 10:00 dikonsumtif boleh, tetapi sebahagian saja, sebahagian lagi digunakan untuk pertumbuhan.
Dengan semakin banyak saudagar kita (Aceh) membayar zakat, maka idealnya kemiskinan
akan berkurang.
Mudah-mudahan ini bisa dicapai dan bisa direalisir oleh para saudagar kita," tambahnya.
Sementara Ketua Kadinda Aceh H Firmandez mengungkapkan, pranata zakat secara
operasional telah ada seperti Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2004 tentang Zakat, namun perlu disosialisasikan kepada para pelaku bisnis di Aceh. Hal ini dimaksudkan agar pengumpulan zakat secara tersistem dalam kelembagaan resmi dan terjamin akuntabilitas publik secara syariah.
Menyangkut kerjasama Kadin Aceh dengan Baitul Mal Aceh dalam hal pengumpulan zakat
dari para pengusaha atau anggota organisasi itu, H Firmandez mengatakan, di masing-masing kantor Kadin di Aceh nanti akan ada Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang akn bertugas mengumpulkan zakat dari anggota dan menyerahkan kepada Baitul Mal setempat.
Kepala Baitul Mal Aceh Amrullah dalam laporannya menyebutkan, program kerja sama Baitul Mal dengan para pengusaha yang tergabung dalam organisasi Kadin Aceh telah dirintis sejak 2003 dengan mengadakan 'Malam Sayang Duafa'. Kegiatan itu semakin mengkristal dua tahun lalu, berupa kesepakatan untuk membayar infak sebesar setengah persen dari setiap rekanan Pemda yang mempunyai tagihan di atas Rp20 juta.
Kesepakatan itu tertuang dalam Ingub Aceh Nomor 13/2005 tentang Pemotongan Infak dari Perusahaan yang Mendapat Pekerjaan dari Pemda.
Dijelaskan, hasil pengumpulan dana infak dari para rekanan Pemprov Aceh pada Tahun 2005 berjumlah Rp. 1.033.011.000 dan Tahun 2006 senilai Rp2.547.439.000. Sedang Tahun 2007 belum dibukukan.
Dari jumlah tersebut, Rp1,4 miliar di antaranya telah dikeluarkan untuk pengadaan empat hektare tanah berlokasi di Jalan Banda Aceh-Krueng Raya, Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, untuk pembangunan tempat pengasuhan anak korban tsunami/korban
konflik Aceh.
Selain itu, Rp150 juta untuk pembuatan topography, penetapan batas, biaya surat-surat tanah
dan ganti rugi untuk tanah wakaf seluar satu hektare. Sedangkan hasil pengumpulan zakat oleh
Baitul Mal Aceh pada tahun 2004 berjumlah Rp1,3 miliar, tahun 2005 Rp1,3 miliar, tahun 2006
Rp2,1 miliar dan tahun 2007 sampai dengan Agustus Rp1,2 miliar.
"Jumlah zakat tersebut hampir seluruhnya sudah disalurkan kepada mustahik yang
ditetapkan Dewan Syariah untuk setiap tahunnya," kata Amrullah.
Pada sosialisasi kesadaran zakat dengan organisasi profesi dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang dilanjutkan dengan buka puasa bersama, turut sejumlah anggota DPR Aceh
dan pengurus Kadinda serta pengusaha Aceh itu, juga dilakukan penandatanganan MoU
pengumpulan zakat antara kepala Baitul Mal Aceh dengan Ketua Kadin Aceh. (b09)
Minggu, 11 April 2010
HAL KEJERNIHAN HATI DAN KEBERSIHAN LAHIR
1. Untuk apa kejernihan hati / kesucian batin dan kebersihan lahir di butuhkan setiap manusia ?
b.Kemudian hati Rasuululloh SAW dipenuhi dengan Hikmah, Iman,Hikmah (ramah tamah / lemah lembut ), Ilmu yakin dan Islam.
2.Mendayagunakan kemampuan lahiriyah. yakni dalam bentuk bekerja, berkarya dan bentuk aktifitas lahiriyah lainnya.
8. Apakah ilmu itu harus disertai dengan hidayah ?
a. Tidaklah sempurna iman seseorang, kecuali jika ia memandang bahwa kebersihan lahir dan kesucian batin itu sebagai hal yang penting dan pokok”.
a.Memelihara kebersihan badan dan lingkungan.
b.Makan makanan yang bergizi.
c.Berolah raga dan beristirahat dengan teratur.
d.Berobat bila sakit.
Rohani :
a.Menjaga kesucian batin.
b.Menuntut ilmu yang bermanfaat.
c.Memberi makanan rohani dengan pengabdian diri dan kesadaran kepada Alloh wa Rasuulallohi SAW.
d.Bermujahadah.
18. Bagaiman hubungan antara kesehatan jasmani dengan kesehatan rohani?
Hubungan kesehatan jasmani dan kesahatan rohani sangat erat sekali, sebagaimana pepatah mengatakan :
2. Apa yang di maksud menjernihkan hati?kejernihan hati / kesucian batin dan kebersihan lahir adalah suatu kondisi yang mutlak yang di butuhkan oleh setiap manusia untuk membina dan menjamin hidup dan kehidupan yang tenang,tentram, bahagia dan sejahtera jasmani dan rohani dan kebersihan lahir adalah termasuk perjuangan hidup yang harus di usahakan oleh setiap manusia.
3. Apa gunanya menjernihkan hati ?Menjernihkan hati adalah : membebaskan hati dari pengaruh – pengaruh nafsu yang senantiasa berusaha dan bertipu daya untuk menguasai hati manusia
gunanya banyak sekali :
-
Untuk menghindari manusia dari kejahatan dan kehancuran dunia dan akhirat,karena nafsu itu senantiasa mengajak dan mengarahkan pada perbuatan jahat dan sesat. Sebagaiman Firman Alloh SWT yang menghikayahkan pernyataan Nabi Yusuf AS. Sebagai berikut :“ dan aku tidak akan membiarkan nafsuku menguasai diriku kerena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang di beri rohmat oleh Tuhanku “(QS.Yusuf : 54)
- Untuk menjadikan manusia baik lahir maupun batinnya yang disebabkan hatinya suci bersih dari kotoran-kotoran nafsu. Sebagai sabda Rosululloh SAW :
‘Sesungguhnya di dalam jasad manusia itu ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, menjadi baik pulalah jasad, dan apabila rusak / kotor, menjadi pula rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, yaitu hati”. - Untuk mendayagunakan segala aspek kehidupan, terutama dalam pengabdian diri kepada Alloh SWT. Firman
‘Pada hari yang tidak bermanfaat harta benda dan tidak bermanfa’at (berguna) pula anak-anak (hari qiyamat), kecuali orang yang datang kehadirot Alloh dengan hati yang suci (bersih dari syirik dan maasyi). AsySyuaroo 88 -,89.
Hukumnya Wajib ‘ain. Sebagaimana pernyataan para Ulama terutama para Ulama.Shufi, sebagai berikut
‘’Menjernihkan (membersihkan) jiwa (hati) dari kotoran-kotoran nafsu adalah wajib”
5. Istilah populer sekarang menjernikan hati itu di sebut apa ?Wajib di sini dalam arti harus diusahakan oleh setiap orang. Baik pria wanita, tua-muda, dari golongan dan bangsa manapun juga semuanya wajib menjernihkan hati dalam dalam rangka mencapai kehidupan yang selamat, sejahtera dan bahagia lahir batin,Wajib disini dalam arti harus diusahakan oleh setiap orang baik pria,wanita,tua,muda dari golongan dan bangsa manapun juga semuanya wajib menjernihkan hati, dalam rangka mencapai hidup dan kehidupan yang baik didunia dan akherat.
membersihkan (menjernihkan) hati istilah populer sekarang di sebut : operasi mental dan pembangunan mental !6. Cara Menjernihkan Hati atau Operasi Mental
Sebelum kita pelajari bagaimana cara menjernihkan hati, marilah kita perhatikan operasi mental yang dialami Beliau Rasuululloh SAW, dalam menjalani Isro’ Mi’roj. Operasi mental tersebut merupakan tuntunan nyata yang harus diikuti para umat, bahkan oleh setiap manusia.a.Kotoran kotoran yang terdapat dihati Rasululloh SAW, oleh malaikat Jibril dicuci dengan air zam-zam.
Adapun caranya operasi sebagai berikut :
b.Kemudian hati Rasuululloh SAW dipenuhi dengan Hikmah, Iman,Hikmah (ramah tamah / lemah lembut ), Ilmu yakin dan Islam.
Maka gangguan dan godaan yang di alami dalam perjalanan Isro Mi’roj semua di atasi dengan sempurna dan sukses menghadap Kehadirod Alloh SWT untuk menerima tugas – tugas yang harus di jalankan olah ummat . antara lain ;sholat lima waktu dalam sehari semalam7. Bagaiman cara menjernikan hati /operasi mental bagi kita ?
Adapun cara menjernihkan hati bagi kita, secara global dapat dilaksanakan dengan dua macam cara yaitu :1.Mendayagunakan kemampuan batiniyah, yakni dalam bentuk berdo’a kepada Alloh AWT. yang merupakan senjata dan otak / intinya ibadah.
2.Mendayagunakan kemampuan lahiriyah. yakni dalam bentuk bekerja, berkarya dan bentuk aktifitas lahiriyah lainnya.
8. Apakah ilmu itu harus disertai dengan hidayah ?
Ilmu itu harus disertai dengan hidayah, sebab kalau tidak ilmu itu akan menambah jauh pada pemiliknya dari Alloh SWT9. Apa sebab menjernihkan hati menggunakan do’a/mujahadah
dasarnya sabda Rosululloh Saw :
“Barang siapa bertambah ilmunya dan tidak bertambah hidayahnya, maka tidak bertambah (dekatnya ) melainkan semakin jauh dari Alloh SWT”.
sebab do’a adalah : senjata bagi orang iman (mukmin) dan Mujahadah adalah kunci dari pada hidayah sebagaiman Sabda Nabi :10. Apakah hidayah Alloh dapat diperoleh atau diusahakan dengan upaya manusia ? jawabannya tegas DAPAT.
“Do’a adalah senjata orang mukmin dan tiangnya agama dan sebagai cahaya (yang menerangi) langit dan bumi”
Dan kata Imam Ghozali RA, Dalam Kitabnya Ihyak Ulumuddin Juz I / 39.
“Mujahadah adalah kuncinya hidayah, tidak ada kunci untuk memperoleh hidayah selain Mulahadah”
Firman Alloh dalam Al Qur’an Surat Al Ankabut ayat 69, sebagai berikut :11. Do’a apa yang paling ampuh menjernihkan hati ?
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridloan) KAMI, sungguh-sungguh akan KAMI tunjukkan kepada mereka jalan-jalan KAMI’’.
Do’a yang paling ampuh mustajab adalah doa Sholawat kepada Rosulullooh SAW dasarnya Sabada Nabi SAW :
“Segala sesuatu itu ada alat pencuci dan pembasuh. Dan adapun alat pencuci hati seorang mu’min dan membasuhnya dari kotoran yang*sudah melekat / sudah berkarat itu dengan membaca Sholawat kepada-Ku”. (Saaadatud Daroini hal : 511 ).Kata Syekh Hasan Al- ‘Adawi dalain Syarah Dalailul Khoirot : ‘
‘Sesungguhnya membaca Sholawat kepada Nabi SAW itu bisa menerangi hati dan mewushulkan kepada Tuhan Dzat yang Maha Mengetahui perkara ghoib tanpa guru”.(Sa’aadatud Daroini 36).
12. Jelaskan hubungan antara kejernihan hati ( mensucikan batin ) dengan kebersihan lahir.? Hubungan antara keduanya sangat erat sekali dan kebersihan lahir itu menunjukan kesucian batin pepatah mengatakan :13. Agama menganjurkan agar semua penganutnya selalu bersih jasmani dan suci rohaninya ( jernih hatinya ) Tulislah dasarnya !
“ Lahir itu menunjukan batinya”
dasarnya Alloh Berfirman :14. Perhatikan pernyataan di bawah ini!
“Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang bertaubat (mensucikan batin) dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri (mensucikan lahir) -.(Al-Baqoroh ayat : 222).
a. Tidaklah sempurna iman seseorang, kecuali jika ia memandang bahwa kebersihan lahir dan kesucian batin itu sebagai hal yang penting dan pokok”.
Rosululloh SAW bersabda :
“Kebersihan itu sebagian dari iman !”
b. Kebersihan lahir dan kesucian batin adalah pangkal kesehatan jasmani dan rohani.
15. Bagairnana cara menjaga kebersihan lahir dan apa alatnya ! Cara menjaga kebersihan lahir antara lain : mandi, bersuci, mencuci, menyapu. Alatnya seperti : air, sabun, sikat, sapu dll.16. Perhatikan pernyataan di bawah ini !
Bersuci (THOHAROH) dari hadats dan najis perlu sekali kita pelajari dengan teliti tata caranya, karena sebagian besar tata cara ibadah, lahirnya harus keadaan suci dari hadats dan suci dari najis.17. Bagaimana Cara pemeliharaan jasmani dan rohani ?
Untuk memelihara jasmani adalah dengan menjaga kesehatan. Adapun cara memelihara / menjaga kesehatan jasmani dan rohani adalah sebagai berikut :Jasmani :
a.Memelihara kebersihan badan dan lingkungan.
b.Makan makanan yang bergizi.
c.Berolah raga dan beristirahat dengan teratur.
d.Berobat bila sakit.
Rohani :
a.Menjaga kesucian batin.
b.Menuntut ilmu yang bermanfaat.
c.Memberi makanan rohani dengan pengabdian diri dan kesadaran kepada Alloh wa Rasuulallohi SAW.
d.Bermujahadah.
18. Bagaiman hubungan antara kesehatan jasmani dengan kesehatan rohani?
Hubungan kesehatan jasmani dan kesahatan rohani sangat erat sekali, sebagaimana pepatah mengatakan :
Sumber http://sholawat-wahidiyah.com/id/rsl/mjhati.htm“Akal / rohani yang sehat terletak didalam jasad yang sehat”.MENSANAA AND CORPORESANO ‘Di dalam tubuh yang sehat terdapat Jiwa yang sehat “.
Selasa, 06 April 2010
Manfaat Zakat Hati Dan Zakat Harta
A. Definisi zakat
Secara bahasa, zakat artinya “berkembang dan bertambah dalam kebaikan dan kesempurnaan.” Dikatakan, sesuatu itu zakat, jika sesuatu itu berkembang baik menuju kesempurnaan.
Sesuatu bisa berkembang dengan baik apabila keadaan sesuatu itu bersih dari kotoran dan penyakit. Seperti halnya badan kita, hewan dan tumbuhan bisa berkembang dengan baik jika keadaannya baik dan bersih dari kotoran dan segala penyakit. Demikian pula hati manusia bisa berkembang dengan baik dan sempurna manakala hati itu baik serta bersih dari kotoran dan segala penyakit.
B. Zakat Hati
Dosa dan kemaksiatan yang dilakukan manusia laksana hama pada tumbuhan. Ibarat pasir pada emas dan perak. Demikian pula penyakit hati seperti hasud, sombong, congkak, merendahkan manusia, bodoh, besar kepala, keras hati menjadi penghambat berkembangnya hati. Bahkan terkadang sampai mematikan hati seperti halnya hama yang menghambat pertumbuhan tanaman dan bahkan mematikannya.
Maka, agar hati itu menjadi baik dan agar hati berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan maka hati itu harus dibersihkan terlebih dahulu dari segala penyakit dan kotorannya. Caranya ialah dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah, menjauhi kemaksiatan dan yang dilarang Allah dan banyak bertaubat kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ(30)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman hendaknya mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kehormatannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (An-Nur: 30)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan di dalam ayat ini bahwa sucinya hati itu terjadi setelah menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, yaitu menundukkan pandangan dari yang diharamkan Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala telah menguji kita dengan memberikan nafsu senang melihat sesuatu yang indah-indah, senang melihat wanita berwajah cantik, tetapi harus diketahui bahwa yang disenangi oleh nafsu itu ada yang diharamkan dan ada yang dihalalkan. Apabila seseorang sanggup menahan nafsunya dari yang diharamkan Allah, maka Allah akan mengganti dengan yang lebih baik seperti sejuknya hati, tenangnya hati, senang dan gembiranya hati.
Dalam hadits disebutkan,
“Barangsiapa meninggalkan sesuatu (yang haram) karena Allah niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.” (HR Ahmad dengan sanad shahih)
Mengingat hati itu selalu terikat dengan sesuatu yang dicintainya, maka ketika hatinya bersih, hanya Allah yang dicintainya maka dia hanya menghamba dan tunduk kepada Allah saja. Sedangkan jika di hati itu sudah bercabang kecintaannya pada selain Allah, maka dia akan tunduk kepada apa yang dia cintai. Perbuatan manusia ikut pada kemauan dan keadaan hatinya.
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ
“Apabila dikatakan kepadamu kembalilah maka kembalilah karena ini lebih suci bagi kalian.” (Ath-Thur: 28)
Ayat ini menerangkan orang yang meminta izin atau bertamu tetapi pemilik rumah belum berkenan menerimanya sehingga dia memohon agar sang tamu kembali kemudian tamu ini mengikuti permohonannya maka itu lebih suci bagi yang bertamu.
Jadi supaya hati bisa berkembang dengan baik menuju kebaikan dan kesempurnaan adalah dengan membersihkan terlebih dahulu dari dosa dan maksiat dan membersihkannya dari penyakit-penyakitnya.
Adapun perkara yang dapat menjadikan hati berkembang dan yang dapat menjadikan hati baik, sempurna, dan suci adalah “tauhid,” yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah (لا إله إلاالله)
Tauhid bukan hanya sebagai pengembang hati tetapi juga berfungsi sebagai pembersih hati yaitu membersihkan keyakinan-keyakinan (aqidah) yang batil, membersihkan hati dari keinginan-keinginan yang tidak benar dan tauhid (لا إله إلاالله) merupakan bahan dasar yang menjadikan hati tumbuh dan berkembang dengan baik, yaitu ketika tidak ada lagi di hatinya tuhan-tuhan selain Allah, tidak ada lagi kemauan dan keinginan kecuali karena Allah. Di hatinya hanya ada Allah dan kebenaran yang bisa berbuah menjadi amalan ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah.
Maka dari itu, tidak ada pelajaran yang melebihi ketinggian dan kemuliaan tauhid karena faidahnya yang fundamental karena yang dipelajari adalah Dzat Yang Maha Agung dan Maha Mulia dan aqidah merupakan dasar bangunan Islam setiap muslim yang menjadi penentu kekokohan dan rapuhnya ke-Islaman seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ(6)الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
“Celakalah orang-orang musyrik yang mereka itu tidak menunaikan zakat.” (Fush-shilat: 5-6)
Kebanyakan ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata “zakat” di ayat ini adalah “tauhid.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Di samping tauhid, amalan ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah juga berfungsi sebagai pembersih dan mensucikan hati. Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(9)
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan hatinya.” (Asy-Syams:9)
Juga firman-Nya:
فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى(18)
“Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri?” (An –Naazi’at: 18)
Zakkaa pada ayat ini adalah amalan ketaatan kepada Allah.
Namun demikian bagi orang yang telah dikaruniai taufiq dan hidayah oleh Allah mampu menjalankan ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah tidak diperbolehkan untuk merasa dan menganggap dirinya sudah bersih dan suci. Allah Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mengganggap dirinya bersih.” (an-Nisa’: 49)
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ
“Maka, janganlah kalian mengatakan dirimu suci.” (an-Najm: 32)
Pada hakikatnya hanya Allah yang menjadikan seseorang itu bersih dan suci dan hanya Allah Ta’ala yang mengabarkan kebersihan dan kesucian seseroang.
Allah Ta’ala berfirman:
بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
“tetapi Allah yang membersihkan/mensucikan siapa yang Dia kehendaki.” (An-Nisa”49)
Maka manfaat hati yang sudah dizakati (dibersihkan) akan dapat memudahkan seseorang untuk menerima kebenaran, senang dalam menerima hidayah/petunjuk dari Allah. Lapang dada menerima Islam, senang dan gembira dalam menjalankan ketaqwaan kepada-Nya. Sedangkan jika hati kotor maka yang terjadi adalah sebaliknya, yakni sulit menerima kebenaran dan petunjuk, sempit dan sesak dadanya terhadap syariat Islam dan berat untuk menjalankan ketaqwaan kepada Allah.
C. Zakat Harta
Adapun manfaat zakat harta adalah seperti yang difirmankan Allah:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103)
Allah mengumpulkan dalam ayat ini tentang manfaat zakat harta yaitu membersihkan dan mensucikan karena harta tidak akan suci/berkembang tanpa dibersihkan terlebih dahulu.
Lebih jauh Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah menerangkan manfaat zakat harta itu, sebagai berikut:
1. Untuk menyempurnakan keislaman seorang hamba karena zakat termasuk rukun Islam. Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wassallam) bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam itu dibangun di atas lima dasar mengucapkan syahadat bahwa tidak ada ilah yang hak selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitul Haram.
2. Sebagai bukti benarnya iman orang yang berzakat karena nafsu itu sangat senang pada harta maka seseorang tidak akan menyerahkan hartanya kecuali karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari harta itu yaitu ridho Allah yang nilainya jauh lebih baik dan lebih sempurna untuk hamba.
3. Untuk mensucikan akhlak orang yang berzakat karena dengan zakat dia akan keluar dari golongan orang-orang yang bakhil/pelit dan masuk pada golongan orang-orang derma.
4. Zakat dapat melapangkan dada dan menenangkan hati tetapi dengan dua syarat yaitu :
4a. Ketika mengeluarkan zakat harus lapang dada bukan dengan terpaksa, sehingga hati akan mengikutinya karena hatinya akan gelisah ketika seseorang meninggalkan kebiasaan baiknya.
4b. Dia harus sanggup mengeluarkan hartanya dari hatinya sebelum dikeluarkan dari tangannya, karena tidak bermanfaat mengeluarkan dengan tangannya tetapi masih diikat oleh hatinya.
5. Sebagai bentuk kesempurnaan iman karena kita senang manakala saudara kita memberikan hartanya pada kita dan begitu pula saudara kita akan senang kalau kita beri dia harta.
Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wassallam) bersabda :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”(HR. Muslim)
6. Zakat menjadi sebab masuk surga karena surga itu diperuntukkan bagi orang baik pembicaraannya, suka menebar salam, memberi makan dan orang yang shalat malam ketika manusia sedang tidur.
“Surga itu bagi orang yang memperbagus pembicaraannya, suka menebar salam, suka memberi makan, dan mendirikan shalat malam sedangkan manusia sedang tidur.” (HR. Tirmidzi hadits hasan shahih)
7. Menjadikan masyarakat muslimin seperti satu keluarga, munculnya sifat kepedulian orang yang mampu kepada orang yang lemah, yang kaya kepada yang miskin, menyadari bahwa saudaranya yang lemah dan miskin butuh derma dan kepeduliannya, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Berbuatlah ihsan/kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (Al-Qashash: 77)
8. Zakat dapat meredam sifat memberontaknya orang-orang fakir. Perbedaan sosial yang mencolok sering memunculkan ketidakharmonisan sosial. Si kaya naik mobil, si fakir berjalan kaki. Si kaya tinggal di istananya, si fakir tidur beralas tikar dan berselimut angin dingin. Si kaya makan segala yang dia mau, si fakir harus menguras tenaga dan keringat hanya untuk sesuap nasi. Tetapi jika si kaya bersifat derma dan peduli pada saudaranya maka ini dapat menenangkan keadaan dan meredam kecemburuan sosial dan meredam munculnya benih-benih pemberontakan si miskin terhadap si kaya.
9. Zakat dapat mencegah dosa-dosa harta seperti pencurian, perampasan, perampokan dan penipuan. Karena orang miskin merasa bahwa pada orang kaya ada haknya yang ditahan, sehingga menghambat terlaksananya kebutuhan si miskin.
10. Zakat dapat menyelamatkan dari panasnya hari kiamat.
Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wassallam) bersabda:
كُلُّ امْرِئٍ فَى ظِلِّ صَدَقَتِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
“Setiap orang dalam naungan shodaqohnya pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)
11. Zakat dapat mendorong manusia untuk mengetahui dan mempelajari syariat dan hukum Allah karena zakat tidak bisa dilaksanakan tanpa didahului ilmu.
12. Zakat dapat menumbuhkan dan mengembangkan harta, karena zakat melindungi harta dari penyakit-penyakitnya dan Allah akan memberkati harta yang bersih. Dalam hadits disebutkan:
مَا نَقَصَتْ صَدَقٌة مِنْ مَالٍ
“Tidaklah zakat itu mengurangi harta.” (HR. Bukhori)
Seringnya penyakit harta itu dapat memberangus harta secara keseluruhan seperti kebakaran, kebangkrutan, atau sakit yang menguras hartanya.
13. Zakat itu dapat menjadi sebab turunnya kebaikan, dalam hadits disebutkan:
“Tidaklah suatu kaum menolak zakat harta mereka kecuali mereka telah menolak turunnya hujan dari langit.” (HR. Ibnu Majah)
14. Zakat dapat meredam murka Allah.
15. Zakat dapat mencegah dari mati jelek (su’ul khotimah). Dalam hadits disebutkan:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ عَنْ مِيتَةِ السُّوءِ
Dari Anas Radliyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wassallam) bersabda,” Zakat itu dapat meredam murka Allah dan mencegah mati jelek.” (HR. Tirmidzi)
16. Zakat itu mencegah turunnya bala’ dari langit.
17. Zakat dapat menghapus kesalahan dan dosa, Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wassallam) bersabda, “
وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ
“Shodaqoh/zakat itu dapat memghapus kesalahan sebagaimana air dapat meredam api.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan shahih). َمْن تَرَكَ شَيْئًا ِللهِ عَوْضُهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهُ (رواه أحمد بسند صحيح)
Dan Rasulullah Pun Tertawa
Dan Rasulullah Pun Tertawa
11/9/2008 | 10 Ramadhan 1429 H | Hits: 9.034
Oleh: Mochamad Bugi dakwatuna.com - Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw. Orang itu punya masalah besar. Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku telah binasa.”
Rasulullah saw. bertanya, “Apa yang terjadi?”
Orang itu menjawab, “Saya mendatangi isteri saya di pagi hari bulan Ramadhan dan saya berpuasa.”
Benar. Ini masalah besar. Orang ini telah melakukan dosa yang sangat besar. Ia bersetubuh dengan isteri secara sengaja sewaktu berpuasa di bulan Ramadhan. Namun orang ini sungguh hebat. Ia berani mengakui kesalahannya itu di hadapan Rasulullah saw.
Apa yang dilakukan Rasulullah saw. kepada orang itu?
Rasulullah saw. tidak bermuka masam. Marah? Tidak. Beliau tidak memarahinya. Lelaki itu datang dengan rasa penyesalan dan ingin bertobat. Ia tidak datang dengan sikap membangkang. Ia datang berharap mendapat penyelesaian atas masalahnya.
Maka Rasulullah saw. bertanya, “Apakah kamu punya budak yang bisa dimerdekakan sebagai kafarat atas apa yang telah kamu lakukan?”
Orang itu menjawab, “Tidak.”
Rasulullah saw. bertanya lagi, “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?”
Lelaki yang tak mampu menahan nafsunya itu menjawab, “Tidak.”
Rasulullah saw. bertanya lagi, “Apakah engkau mampu memberi makan 60 orang fakir miskin?”
Lelaki itu sekali lagi menjawab, “Tidak.”
Tiba-tiba terjadi kebuntuan. Lelaki itu tidak punya apapun yang bisa digunakan untuk membayar kafarat atas perbuatan dosanya itu. Ia terduduk. Pasrah atas keputusan yang akan ditetapkan Rasulullah saw. atasnya.
Tak lama kemudian, datang seseorang membawa sebakul kurma. Orang ini memberi kurma itu kepada Rasulullah saw.
Rasulullah saw. memanggil si lelaki yang melanggar aturan Allah swt. Kepada orang-orang yang berpuasa. Kepadanya Rasulullah saw. menyerahkan kurma itu. “Ambillah ini. Sedekahkan!”
Orang itu malah bertanya, “Ya Rasulullah saw., apakah saya harus bersedekah kepada orang yang lebih miskin daripada saya? Demi Allah, tidak ada orang yang lebih miskin dari saya di Madinah ini.”
Mendengar itu Rasulullah saw. ketawa. Setelah itu Rasulullah saw. bersabda, “Kalau begitu, berikan kurma itu untuk makan keluargamu!”
Sungguh, betapa lebar senyum lelaki itu. Kafarat dosanya tertebus, keluarganya mendapat makanan. Subhanallah!
Islam Agama Sempurna
Oleh: Mochamad Bugi
Islam Untuk Seluruh Manusia
Kata Islam punya dua makna. Pertama, nash (teks) wahyu yang menjelaskan din (agama) Allah. Kedua, Islam merujuk pada amal manusia, yaitu keimanan dan ketundukan manusia kepada nash (teks) wahyu yang berisi ajaran din (agama) Allah.
Berdasarkan makna pertama, Islam yang dibawa satu rasul berbeda dengan yang dibawa rasul lainnya, dalam hal keluasan dan keuniversalannya. Meskipun demikian dalam permasalah fundamental dan prinsip tetap sama. Islam yang dibawa Nabi Musa lebih luas dibandingkan yang dibawa Nabi Nuh. Karena itu, tak heran jika Al-Qur’an pun menyebut-nyebut tentang Taurat. Misalnya di ayat 145 surat Al-A’raf. Dan telah Kami tuliskan untuk Musa di Luh-luh (Taurat) tentang segala sesuatu sebagai peringatan dan penjelasan bagi segala sesuatunya.…
Islam yang dibawa Nabi Muhammad lebih luas lagi daripada yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Apalagi nabi-nabi sebelumnya diutus hanya untuk kaumnya sendiri. Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, Islam yang dibawanya lebih luas dan menyeluruh. Tak heran jika Al-Qur’an bisa menjelaskan dan menunjukkan tentang segala sesuatu kepada manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu. (An-Nahl: 89)
Dengan kesempurnaan risalah Nabi Muhammad saw., sempurnalah struktur kenabian dan risalah samawiyah (langit). Kita yang hidup setelah Nabi Muhammad diutus, telah diberi petunjuk oleh Allah tentang semua tradisi para nabi dan rasul yang sebelumnya. Allah swt. menyatakan hal ini di Al-Qur’an. Mereka orang-orang yang telah diberikan petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. (Al-An’am: 90). Dan kamu diberi petunjuk tentang sunah-sunah orang-orang yang sebelum kamu. (An-Nisa: 20)
Sedangkan tentang telah sempurnanya risalah agama-Nya, Allah menyatakan dalam surat Al-Maidah ayat 3. Pada Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agama bagimu sekalian….
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa risalah yang dibawanya adalah satu kesatuan dengan risalah yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. “Perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi sebelumku ibarat orang yang membangun sebuah rumah. Ia memperindah dan mempercantik rumah itu, kecuali letak batu bata pada salah satu sisi bangunannya. Kemudian manusia mengelilingi dan mengagumi rumah itu, lalu mengatakan: ‘Alangkah indah jika batu ini dipasang!’ Aku adalah batu bata tersebut dan aku adalah penutup para nabi,” begitu sabda Rasulullah saw. (Bukhari dan Muslim)
Agama Selain Islam Ditolak
Sempurna dan lengkapnya risalah agama langit yang Allah proklamasikan pada haji wada’ dengan ayat 3 surat Al-Maidah –yang juga sebagai wahyu terakhir turun–, mengharuskan seluruh manusia tunduk pada Islam. Semua syariat yang terdahulu dengan sendirinya mansukh (terhapus). Dan, tidak akan ada lagi syariat baru sesudah risalah yang dibawa Nabi Muhammad. Risalah dan kenabian telah ditutup dengan diutusnya Nabi Muhammad. ….tetapi ia (Nabi Muhammad) sebagai utusan Alah dan penutup nabi-nabi… (Al-Ahzab: 40). Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (Al-A’raf: 158). Dan Kami tidak mengutus kamu kecuali untuk seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. (Saba: 28). Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (Al-Anbiya’: 107).
Karenanya, Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima (agama itu) daripadanya. (Ali Imran: 85). Sebab, sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam. (Ali Imran: 19).
Maka, siapa saja yang tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad, ia akan celaka dan menjadi orang yang sesat. Kata Rasulullah saw., “Demi Dzat yang diriku dalam genggaman-Nya, tidak seorang pun dari umat ini, baik Yahudi atau Nasrani, mendengar (berita kerasulan)-ku, kemudian ia tidak beriman kepada apa yang aku bawa, kecuali ia sebagai ahli neraka.” (Muslim)
Allah menegaskan dalam Al-Qur’am, “Barangsiapa menentang Rasul sesudah nyata petunjuk baginya dan mengikuti bukan jalan orang-orang mukmin, niscaya Kami angkat dia menjadi pemimpin apa yang dipimpinnya dan Kami masukkan ke dalam neraka jahanam. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115).
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasu-Nya dan hendak membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-Nya, mereka berkata, kami beriman kepada setengah (Rasul) dan kafir kepada yang lain, dan mereka hendak mengambil jalan tengah (netral) antara yang demikian itu. Mereka itu ialah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan (An-Nisa:150-151).
Risalah yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad telah banyak dilupakan, diselewengkan, diubah, dan ajarannya yang haq telah dihapus. Sehingga, melekatlah kebatilan di kalangan para pemeluknya, baik dalam masalah akidah, ibadah, dan perilakunya. Sementara, Islam adalah agama yang sumber ajarannya, Al-Qur’an dan Hadits, terjaga keshahihannya. Sanadnya tersambung kepada Rasulullah saw. Apakah ada pilihan bagi kita yang ingin berislam kepada Allah swt selain dengan mengikuti risalah yang dibawa Nabi Muhammad? Tentu saja tidak.
Allah berfirman, “Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul Kami, yang menerangkan (syariat Kami) kepadamu ketika rasul-rasul telah putus supaya kamu tidak berkata, ‘Tidak datang kepada kami pemberi kabar gembira dan tidak pula memberi peringatan.’ Allah MahaTahu atas segala sesuatu.” (Al_maidah: 19)
Sumber Ajaran Islam
Isi ajaran Islam yang diserukan Nabi Muhammad dapat diketahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diakui keabsahannya oleh para ulama hadits. Islam yang dibawa Nabi Muhammad merupakan hidayah yang sempurna bagi seluruh umat manusia. Allah menurunkan Islam ini secara sempurna dan menyeluruh sehingga tidak ada satu persoalan pun yang menyangkut kehidupan manusia yang tidak diatur. Islam memuat aspek hukum –halal-haram, mubah-makruh, fardhu-sunnah—juga menyangkut masalah akidah, ibadah, politik, ekonomi, perang, damai, perundangan, dan semua konsep hidup manusia.
Begitulah yang Allah katakan tentang Al-Qur’an. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu. (An-Nahl: 89). Dan sebagai pemerinci terhadap segala sesuatu. (Al-A’raf: 145)
Sedangkan yang belum dijelaskan secara gamblang dan rinci dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dapat diketahui dengan jalan pengambilan hukum oleh para mujtahid umat Islam (istimbath).
Kitab dan Sunah telah menjelaskan semua persoalan yang terkait dengan akidah, ibadah, ekonomi, sosial kemasyarakatan, perang dan damai, perundang-undangan dan kehakiman, ilmu, pendidikan dan kebudayaan, serta hukum dan pemerintahan. Para ahli fiqh membuat klasifikasi ajaran Islam ke dalam persoalan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan uqubah (sanksi hukum).
Yang termasuk dalam urusan akidah adalah masalah hukum dan pemerintahan. Masalah akhlak adalah masalah tata karma. Sedangkan yang masuk ke dalam urusan ibadah adalah masalah shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Muamalah menyangkut urusan transaksi keuangan, nikah dna segala persoalannya, soal-soal konflik, amanah dan harta warisan. Sedangkan yang masuk dalam kategori uqubah adalah persoalan qishash, hukuman bagi pencuri, pezina, tuduhan zina, dan murtad.
Islam Untuk Seluruh Manusia
Kata Islam punya dua makna. Pertama, nash (teks) wahyu yang menjelaskan din (agama) Allah. Kedua, Islam merujuk pada amal manusia, yaitu keimanan dan ketundukan manusia kepada nash (teks) wahyu yang berisi ajaran din (agama) Allah.
Berdasarkan makna pertama, Islam yang dibawa satu rasul berbeda dengan yang dibawa rasul lainnya, dalam hal keluasan dan keuniversalannya. Meskipun demikian dalam permasalah fundamental dan prinsip tetap sama. Islam yang dibawa Nabi Musa lebih luas dibandingkan yang dibawa Nabi Nuh. Karena itu, tak heran jika Al-Qur’an pun menyebut-nyebut tentang Taurat. Misalnya di ayat 145 surat Al-A’raf. Dan telah Kami tuliskan untuk Musa di Luh-luh (Taurat) tentang segala sesuatu sebagai peringatan dan penjelasan bagi segala sesuatunya.…
Islam yang dibawa Nabi Muhammad lebih luas lagi daripada yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Apalagi nabi-nabi sebelumnya diutus hanya untuk kaumnya sendiri. Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, Islam yang dibawanya lebih luas dan menyeluruh. Tak heran jika Al-Qur’an bisa menjelaskan dan menunjukkan tentang segala sesuatu kepada manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu. (An-Nahl: 89)
Dengan kesempurnaan risalah Nabi Muhammad saw., sempurnalah struktur kenabian dan risalah samawiyah (langit). Kita yang hidup setelah Nabi Muhammad diutus, telah diberi petunjuk oleh Allah tentang semua tradisi para nabi dan rasul yang sebelumnya. Allah swt. menyatakan hal ini di Al-Qur’an. Mereka orang-orang yang telah diberikan petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. (Al-An’am: 90). Dan kamu diberi petunjuk tentang sunah-sunah orang-orang yang sebelum kamu. (An-Nisa: 20)
Sedangkan tentang telah sempurnanya risalah agama-Nya, Allah menyatakan dalam surat Al-Maidah ayat 3. Pada Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agama bagimu sekalian….
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa risalah yang dibawanya adalah satu kesatuan dengan risalah yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. “Perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi sebelumku ibarat orang yang membangun sebuah rumah. Ia memperindah dan mempercantik rumah itu, kecuali letak batu bata pada salah satu sisi bangunannya. Kemudian manusia mengelilingi dan mengagumi rumah itu, lalu mengatakan: ‘Alangkah indah jika batu ini dipasang!’ Aku adalah batu bata tersebut dan aku adalah penutup para nabi,” begitu sabda Rasulullah saw. (Bukhari dan Muslim)
Agama Selain Islam Ditolak
Sempurna dan lengkapnya risalah agama langit yang Allah proklamasikan pada haji wada’ dengan ayat 3 surat Al-Maidah –yang juga sebagai wahyu terakhir turun–, mengharuskan seluruh manusia tunduk pada Islam. Semua syariat yang terdahulu dengan sendirinya mansukh (terhapus). Dan, tidak akan ada lagi syariat baru sesudah risalah yang dibawa Nabi Muhammad. Risalah dan kenabian telah ditutup dengan diutusnya Nabi Muhammad. ….tetapi ia (Nabi Muhammad) sebagai utusan Alah dan penutup nabi-nabi… (Al-Ahzab: 40). Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (Al-A’raf: 158). Dan Kami tidak mengutus kamu kecuali untuk seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. (Saba: 28). Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (Al-Anbiya’: 107).
Karenanya, Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima (agama itu) daripadanya. (Ali Imran: 85). Sebab, sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam. (Ali Imran: 19).
Maka, siapa saja yang tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad, ia akan celaka dan menjadi orang yang sesat. Kata Rasulullah saw., “Demi Dzat yang diriku dalam genggaman-Nya, tidak seorang pun dari umat ini, baik Yahudi atau Nasrani, mendengar (berita kerasulan)-ku, kemudian ia tidak beriman kepada apa yang aku bawa, kecuali ia sebagai ahli neraka.” (Muslim)
Allah menegaskan dalam Al-Qur’am, “Barangsiapa menentang Rasul sesudah nyata petunjuk baginya dan mengikuti bukan jalan orang-orang mukmin, niscaya Kami angkat dia menjadi pemimpin apa yang dipimpinnya dan Kami masukkan ke dalam neraka jahanam. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115).
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasu-Nya dan hendak membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-Nya, mereka berkata, kami beriman kepada setengah (Rasul) dan kafir kepada yang lain, dan mereka hendak mengambil jalan tengah (netral) antara yang demikian itu. Mereka itu ialah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan (An-Nisa:150-151).
Risalah yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad telah banyak dilupakan, diselewengkan, diubah, dan ajarannya yang haq telah dihapus. Sehingga, melekatlah kebatilan di kalangan para pemeluknya, baik dalam masalah akidah, ibadah, dan perilakunya. Sementara, Islam adalah agama yang sumber ajarannya, Al-Qur’an dan Hadits, terjaga keshahihannya. Sanadnya tersambung kepada Rasulullah saw. Apakah ada pilihan bagi kita yang ingin berislam kepada Allah swt selain dengan mengikuti risalah yang dibawa Nabi Muhammad? Tentu saja tidak.
Allah berfirman, “Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul Kami, yang menerangkan (syariat Kami) kepadamu ketika rasul-rasul telah putus supaya kamu tidak berkata, ‘Tidak datang kepada kami pemberi kabar gembira dan tidak pula memberi peringatan.’ Allah MahaTahu atas segala sesuatu.” (Al_maidah: 19)
Sumber Ajaran Islam
Isi ajaran Islam yang diserukan Nabi Muhammad dapat diketahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diakui keabsahannya oleh para ulama hadits. Islam yang dibawa Nabi Muhammad merupakan hidayah yang sempurna bagi seluruh umat manusia. Allah menurunkan Islam ini secara sempurna dan menyeluruh sehingga tidak ada satu persoalan pun yang menyangkut kehidupan manusia yang tidak diatur. Islam memuat aspek hukum –halal-haram, mubah-makruh, fardhu-sunnah—juga menyangkut masalah akidah, ibadah, politik, ekonomi, perang, damai, perundangan, dan semua konsep hidup manusia.
Begitulah yang Allah katakan tentang Al-Qur’an. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu. (An-Nahl: 89). Dan sebagai pemerinci terhadap segala sesuatu. (Al-A’raf: 145)
Sedangkan yang belum dijelaskan secara gamblang dan rinci dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dapat diketahui dengan jalan pengambilan hukum oleh para mujtahid umat Islam (istimbath).
Kitab dan Sunah telah menjelaskan semua persoalan yang terkait dengan akidah, ibadah, ekonomi, sosial kemasyarakatan, perang dan damai, perundang-undangan dan kehakiman, ilmu, pendidikan dan kebudayaan, serta hukum dan pemerintahan. Para ahli fiqh membuat klasifikasi ajaran Islam ke dalam persoalan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan uqubah (sanksi hukum).
Yang termasuk dalam urusan akidah adalah masalah hukum dan pemerintahan. Masalah akhlak adalah masalah tata karma. Sedangkan yang masuk ke dalam urusan ibadah adalah masalah shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Muamalah menyangkut urusan transaksi keuangan, nikah dna segala persoalannya, soal-soal konflik, amanah dan harta warisan. Sedangkan yang masuk dalam kategori uqubah adalah persoalan qishash, hukuman bagi pencuri, pezina, tuduhan zina, dan murtad.
Minggu, 04 April 2010
Zakat Dalam Perspektif UU Pemerintahahn Aceh
Zakat Dalam Perspektif UU Pemerintahahn Aceh
Oleh, Amrullah
Sebelum Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau yang lebih dikenal dengan istilah UUPA lahir, zakat telah mendapat tempat yang khsuus dalam pemerintahan Aceh. Hal ini erat kaitannya dengan keberadaan UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang tersebut telah melahirkan antara lain Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, dimana Baitul Mal merupakan salah satu dari 13 bidang pelaksanaan Syariat Islam.
Selanjutnya, dalam Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan peranan Baitul Mal sebagai Lembaga Daerah yang berwenang melakukan pengelolaan zakat, dan harta agama lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun ini dicabut dengan Qanun No 10/2007 tentang Baitul Mal.
Pembentukan Baitul Mal dilakukan dengan Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 18 Tahun 2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Karena kekhusussan tersebut, maka lingkup Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) di Aceh yang disebut dengan Baitul Mal agak sedikit berbeda dengan BAZDA yang diatur dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Menteri Agama RI No. 373/2003 tentang Pelaksanaan UU No. 38/1999, dimana BAZDA berada pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan.
Sedangkan pembentukan Baitul Mal dilakukan pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Gampong (bukan Kecamatan). Hal ini erat kaitannya dengan sejarah panjang pengelolaan zakat dan harta agama lainnya yang dilakukan di Gampong (desa) sejak zaman Sultan Iskandar Muda, karena pemerintahan Gampong dinilai mempunyai akses yang langsung dengan masyarakat.
Selanjutnya, dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, zakat mendapat peran dan posisi yang sangat istimewa dalam Pemerintahan Aceh, dibandingkan dengan Pemerintah daerah lain yang diatur dengan UU No. 32/2004.
Ada tiga hal menarik menyangkut "perzakatan" yang diatur dalam Undang-Undang No. 11/2006, yaitu:
1. a. Pasal 180 ayat (1) huruf d
"Zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/Kota". (Sumber PAD lain adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan hasil penyertaan modal serta lain-lain PAD Aceh dan PAD Kabupaten/Kota yang sah).
1. b. Pasal 191
"Zakat, harta wakaf dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota yang diatur dengan Qanun".
1. c. Pasal 192
"Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak pengahasilan (PPh) terhutang dari wajib pajak".
Ketentuan tersebut lebih lanjut diatur dengan Qanun No 10/2007 tentang Baitul Mal, yang tidak hanya mengatur tentang masalah perzakatan, tetapi lebih luas sesuai dengan tuntutan perkembangan terakhir di Aceh, termasuk masalah perwalian dan pengelolaan harta/tanah yang tidak ada pemiliknya lagi pasca tsunami. Masalah yag terakhir ini merupakan amanah dari UU No 48/2007 tentang Pengesahan Perpu No 2/2007 tentang Penyelesaian Masalah Hukum Pasca Tsunami di Aceh dan Nias, dimana dalam UU tersebut tersebut antara lain disebutkan tentang kewenangan Baitul Mal utuk menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim/yatim piatu yang tidak ada walinya lagi, serta menjadi pengelola terhadap harta/hak yang tidak ada pemiliknya lagi akibat tsunami.
Pembahasan Qanun tentang Baitul Mal sebagai usul inisiatif DPR Aceh telah dilakukan dengan sangat berhati-hati, guna menghindari terjadinya benturan dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi. Sebagai contoh dapat kami sebutkan:
1). Zakat sebagai salah satu sumber PAD
Apabila zakat sudah dinyatakan sebagai sumber PAD, maka zakat tersebut harus disetor ke Kas Daerah dan penyaluranya harus tunduk kepada aturan-aturan yang mengatur tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, (Permendagri No. 13/2006). Dengan ketentuan zakat sebagai PAD, maka konsekuensi logisnya harus dipergunakan untuk membiayai anggaran belanja daerah sebagaimana PAD lainnya. Padahal penyaluran uang zakat sudah diatur sedemikian rupa dalam Alquran dan Al-Hadist untuk dibagi kepada asnaf-asnaf yang berhak (mustahik). Untuk menjembatani agar kedua ketentuan tersebut tidak terjadi benturan, maka penyetoran zakat ke Kas Daerah sebagai PAD harus diatur sedemikian rupa dengan menempatkannya dalam rekening khusus pada Bank Syariah, sehingga tidak bercampur dengan PAD lain. Sedangkan penyalurannya disesuaikan dengan ketentuan syariah untuk asnaf-asnaf yang telah ditetapkan.
2). Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal
Dalam Undang-Undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat telah diatur sedemikian rupa tentang bagaimana pengelolaan zakat termasuk organisasinya seperti BAZDA. Sedangkan dalam UU No. 11/2006 organisasi pengelola zakat, harta wakaf dan harta agama adalah Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota.
- Demikian juga halnya dengan harta wakaf yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 41/2004 tentang wakaf yang hanya membuka celah kepada Baitul Mal sebagai salah satu lembaga untuk menjadi nadzir sebagaimana nadhir lainnya/bukan satu-satunya.
3). Zakat sebagai faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang
Dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat yang berlaku secara nasional, disebutkan pembayaran zakat hanya dapat mengurangi "jumlah penghasilan kena pajak" (taxes deductable) yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Ditjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003, sedangkan dalam UU No. 11/2006, pembayaran pajak dapat mengurangi "pajak penghasilan" terhutang (taxes-crediet). Ketentuan ini belum diatur oleh Ditjen Pajak, sehingga pelaksanaannya belum dapat diperlakukan secara serta merta, perlu kita ketahui, dalam hukum pajak sudah diatur sedemikian rupa bagaimana tata cara memasukkan SPT tahunan untuk mendapatkan kompensasi pembayaran pajak penghasilan termasuk restitusi pajak.
Adanya ketentuan yang dimuat dalam pasal 192 UU No. 11/2006 yang menyatakan zakat sebagai faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang, dan hanya berlaku di Aceh, adalah merupakan suatu kemajuan yang luar biasa bagi umat Islam Aceh. Ketentuan tersebut sudah diperjuangkan oleh beberapa organisasi Islam secara nasional dalam waktu yang cukup lama, tetapi pemerintah belum dapat menyetujuinya. Ini berarti pembayaran zakat di Aceh, diakui setingkat dengan pajak, karena kedua-duanya merupakan sumber pendapatan daerah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam porsi yang berbeda. Ketentuan ini sudah lama berlaku di Malaysia.
CONTOH SIMULASI PERHITUNGAN
1). Taxes deductable :
1. - Jumlah Penghasilan setahun Rp. 200.000.000,-
2. - Pembayaran zakat 2,5 % Rp. 5.000.000,-
Jumlah Penghasilan kena Pajak Rp. 195.000.000,-
1. - Pajak Penghasilan 10% Rp. 19.500.000,-
2). Taxes crediets :
1. - Jumlah Penghasilan setahun Rp. 200.000.000,-
2. - Pembayaran zakat 2,5 % Rp. 5.000.000,-
3. - Pajak penghasilan 10% x Rp. 200 juta Rp. 20.000.000,-
4. - Potong pembayaran zakat Rp. 5.000.000,-
5. - Sisa pajak penghasilan terhutang Rp. 15.000.000,-
Ini berarti umat Islam di Aceh mendapat keringanan pajak penghasilan sebesar Rp. 4,5 juta dari penghasilan Rp. 200.000.000,- (taxes deductable Rp. 19.500.000 - taxes crediet Rp. 15.000.000).
Catatan: contoh simulasi diatas tidak persis demikian, karena ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan Tahunan.
Oleh, Amrullah
Sebelum Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau yang lebih dikenal dengan istilah UUPA lahir, zakat telah mendapat tempat yang khsuus dalam pemerintahan Aceh. Hal ini erat kaitannya dengan keberadaan UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang tersebut telah melahirkan antara lain Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, dimana Baitul Mal merupakan salah satu dari 13 bidang pelaksanaan Syariat Islam.
Selanjutnya, dalam Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan peranan Baitul Mal sebagai Lembaga Daerah yang berwenang melakukan pengelolaan zakat, dan harta agama lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun ini dicabut dengan Qanun No 10/2007 tentang Baitul Mal.
Pembentukan Baitul Mal dilakukan dengan Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 18 Tahun 2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Karena kekhusussan tersebut, maka lingkup Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) di Aceh yang disebut dengan Baitul Mal agak sedikit berbeda dengan BAZDA yang diatur dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Menteri Agama RI No. 373/2003 tentang Pelaksanaan UU No. 38/1999, dimana BAZDA berada pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan.
Sedangkan pembentukan Baitul Mal dilakukan pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Gampong (bukan Kecamatan). Hal ini erat kaitannya dengan sejarah panjang pengelolaan zakat dan harta agama lainnya yang dilakukan di Gampong (desa) sejak zaman Sultan Iskandar Muda, karena pemerintahan Gampong dinilai mempunyai akses yang langsung dengan masyarakat.
Selanjutnya, dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, zakat mendapat peran dan posisi yang sangat istimewa dalam Pemerintahan Aceh, dibandingkan dengan Pemerintah daerah lain yang diatur dengan UU No. 32/2004.
Ada tiga hal menarik menyangkut "perzakatan" yang diatur dalam Undang-Undang No. 11/2006, yaitu:
1. a. Pasal 180 ayat (1) huruf d
"Zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/Kota". (Sumber PAD lain adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan hasil penyertaan modal serta lain-lain PAD Aceh dan PAD Kabupaten/Kota yang sah).
1. b. Pasal 191
"Zakat, harta wakaf dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota yang diatur dengan Qanun".
1. c. Pasal 192
"Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak pengahasilan (PPh) terhutang dari wajib pajak".
Ketentuan tersebut lebih lanjut diatur dengan Qanun No 10/2007 tentang Baitul Mal, yang tidak hanya mengatur tentang masalah perzakatan, tetapi lebih luas sesuai dengan tuntutan perkembangan terakhir di Aceh, termasuk masalah perwalian dan pengelolaan harta/tanah yang tidak ada pemiliknya lagi pasca tsunami. Masalah yag terakhir ini merupakan amanah dari UU No 48/2007 tentang Pengesahan Perpu No 2/2007 tentang Penyelesaian Masalah Hukum Pasca Tsunami di Aceh dan Nias, dimana dalam UU tersebut tersebut antara lain disebutkan tentang kewenangan Baitul Mal utuk menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim/yatim piatu yang tidak ada walinya lagi, serta menjadi pengelola terhadap harta/hak yang tidak ada pemiliknya lagi akibat tsunami.
Pembahasan Qanun tentang Baitul Mal sebagai usul inisiatif DPR Aceh telah dilakukan dengan sangat berhati-hati, guna menghindari terjadinya benturan dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi. Sebagai contoh dapat kami sebutkan:
1). Zakat sebagai salah satu sumber PAD
Apabila zakat sudah dinyatakan sebagai sumber PAD, maka zakat tersebut harus disetor ke Kas Daerah dan penyaluranya harus tunduk kepada aturan-aturan yang mengatur tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, (Permendagri No. 13/2006). Dengan ketentuan zakat sebagai PAD, maka konsekuensi logisnya harus dipergunakan untuk membiayai anggaran belanja daerah sebagaimana PAD lainnya. Padahal penyaluran uang zakat sudah diatur sedemikian rupa dalam Alquran dan Al-Hadist untuk dibagi kepada asnaf-asnaf yang berhak (mustahik). Untuk menjembatani agar kedua ketentuan tersebut tidak terjadi benturan, maka penyetoran zakat ke Kas Daerah sebagai PAD harus diatur sedemikian rupa dengan menempatkannya dalam rekening khusus pada Bank Syariah, sehingga tidak bercampur dengan PAD lain. Sedangkan penyalurannya disesuaikan dengan ketentuan syariah untuk asnaf-asnaf yang telah ditetapkan.
2). Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal
Dalam Undang-Undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat telah diatur sedemikian rupa tentang bagaimana pengelolaan zakat termasuk organisasinya seperti BAZDA. Sedangkan dalam UU No. 11/2006 organisasi pengelola zakat, harta wakaf dan harta agama adalah Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota.
- Demikian juga halnya dengan harta wakaf yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 41/2004 tentang wakaf yang hanya membuka celah kepada Baitul Mal sebagai salah satu lembaga untuk menjadi nadzir sebagaimana nadhir lainnya/bukan satu-satunya.
3). Zakat sebagai faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang
Dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat yang berlaku secara nasional, disebutkan pembayaran zakat hanya dapat mengurangi "jumlah penghasilan kena pajak" (taxes deductable) yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Ditjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003, sedangkan dalam UU No. 11/2006, pembayaran pajak dapat mengurangi "pajak penghasilan" terhutang (taxes-crediet). Ketentuan ini belum diatur oleh Ditjen Pajak, sehingga pelaksanaannya belum dapat diperlakukan secara serta merta, perlu kita ketahui, dalam hukum pajak sudah diatur sedemikian rupa bagaimana tata cara memasukkan SPT tahunan untuk mendapatkan kompensasi pembayaran pajak penghasilan termasuk restitusi pajak.
Adanya ketentuan yang dimuat dalam pasal 192 UU No. 11/2006 yang menyatakan zakat sebagai faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang, dan hanya berlaku di Aceh, adalah merupakan suatu kemajuan yang luar biasa bagi umat Islam Aceh. Ketentuan tersebut sudah diperjuangkan oleh beberapa organisasi Islam secara nasional dalam waktu yang cukup lama, tetapi pemerintah belum dapat menyetujuinya. Ini berarti pembayaran zakat di Aceh, diakui setingkat dengan pajak, karena kedua-duanya merupakan sumber pendapatan daerah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam porsi yang berbeda. Ketentuan ini sudah lama berlaku di Malaysia.
CONTOH SIMULASI PERHITUNGAN
1). Taxes deductable :
1. - Jumlah Penghasilan setahun Rp. 200.000.000,-
2. - Pembayaran zakat 2,5 % Rp. 5.000.000,-
Jumlah Penghasilan kena Pajak Rp. 195.000.000,-
1. - Pajak Penghasilan 10% Rp. 19.500.000,-
2). Taxes crediets :
1. - Jumlah Penghasilan setahun Rp. 200.000.000,-
2. - Pembayaran zakat 2,5 % Rp. 5.000.000,-
3. - Pajak penghasilan 10% x Rp. 200 juta Rp. 20.000.000,-
4. - Potong pembayaran zakat Rp. 5.000.000,-
5. - Sisa pajak penghasilan terhutang Rp. 15.000.000,-
Ini berarti umat Islam di Aceh mendapat keringanan pajak penghasilan sebesar Rp. 4,5 juta dari penghasilan Rp. 200.000.000,- (taxes deductable Rp. 19.500.000 - taxes crediet Rp. 15.000.000).
Catatan: contoh simulasi diatas tidak persis demikian, karena ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan Tahunan.
ZAKAT, JEMBATAN PENGHUBUNG KAYA MISKIN
Zakat sebagai rukun Islam ketiga disebutkan dalam Alquran sekitar 35 ayat, 27 ayat di antaranya kata "zakat" selalu disanding dengan "shalat". Ini berarti kedudukan zakat sejajar dengan shalat. Setiap muslim yang telah memenuhi batas nishab (batas jumlah harta minimal) wajib menunaikan zakat saat jatuh tempo (haul). Kewajiban zakat ini, tidak hanya berlaku untuk seorang yang telah baligh saja, bahkan anak kecil atau orang gila sekalipun, apabila hartanya telah memenuhi nishab dan haul, maka harta tersebut wajib dikeluarkan zakat, yang ditunaikan oleh walinya.
Berbeda dengan rukun Islam lainnya seperti syahadat, shalat, puasa dan haji, yang pelaksanaannya lebih cenderung sebagai pelaksanaan rukun pribadi (ibadah mahdhah), namun zakat di samping memenuhi perintah Allah SWT sebagai kewajiban muslim (ibadah maaliyah), juga merupakan ibadah yang mempunyai aspek sosial untuk menolong orang lain. Zakat merupakan syariat Islam yang diturunkan sebagai sarana penciptaan keadilan ekonomi, kesejahteraan dan kemakmuran. Zakat merupakan infrastruktur sosial dalam membentuk masyarakat yang harmonis.
Zakat memiliki peran dan hikmah yang beragam, di samping sebagai implementasi iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, sekaligus menumbuhkan akhlak mulia, kepedulian sesama, menghilangkan sifat kikir, menumbuhkan ketenangan hidup, mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki (QS At-Taubah (9): 103, QS Ar-Rum (30): 39, QS. Ibrahim (14): 7).
Di samping itu, karena zakat merupakan hak bagi mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong, mambantu dan membina para mustahik, terutama golongan fakir miskin kearah kehidupan yang lebih baik, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak, beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, menghilangkan rasa iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul terhadap orang kaya. Dengan demikian zakat merupakan jembatan yang menghubungkan antara si kaya dan si miskin.
(amrullah, kepala baitul mal aceh)
(amrullah, kepala baitul mal aceh)
RUMAH BANTUAN BAITUL MAL ACEH SELATAN
Rumah Bantuan yang akan di perbaiki Baitul Mal Aceh Selatan di Gampong Gunong Kapho Kec. Trumon Kab. Aceh Selatan.
Iman dan Taqwa landasan mencapai kesuksesan
Oleh Kholid Syamhudi
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah dijelaskan dalam firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS. 51:56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik.
Sehingga Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu tujuan tertentu dalam firmanNya :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan) serta (mendapatkan) syurga atau neraka.
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proforsonal dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:
1, I’tishom bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang berikutnya, yaitu;
2, I’tishom billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan mengamalkannya.
Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan dua hal, pertama, pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara mencapainya dan kedua, selamat dari rintangan yang menghalangi terwujudnya tujuan tersebut.
Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: Poros kebahagian duniawi dan ukhrowi ada pada I’tishom billahi dan I’tishom bihablillah dan tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen dengan dua hal ini. Sedangkan I’tishom bi hablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan I’tishom billahi melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan mencapai (keridhoan) Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan menuju tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini. Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan menunjukinya kejalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. I’tishom bi hablillah memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang I’tishom billah memberikan kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab keselamatannya di perjalanan.[1]
Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan mengamalkan ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok setiap muslim. Agar dapat mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan keahlian dan kemampuan kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan takwa kita semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah dijelaskan dalam firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS. 51:56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik.
Sehingga Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu tujuan tertentu dalam firmanNya :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan) serta (mendapatkan) syurga atau neraka.
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proforsonal dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:
1, I’tishom bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang berikutnya, yaitu;
2, I’tishom billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan mengamalkannya.
Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan dua hal, pertama, pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara mencapainya dan kedua, selamat dari rintangan yang menghalangi terwujudnya tujuan tersebut.
Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: Poros kebahagian duniawi dan ukhrowi ada pada I’tishom billahi dan I’tishom bihablillah dan tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen dengan dua hal ini. Sedangkan I’tishom bi hablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan I’tishom billahi melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan mencapai (keridhoan) Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan menuju tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini. Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan menunjukinya kejalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. I’tishom bi hablillah memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang I’tishom billah memberikan kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab keselamatannya di perjalanan.[1]
Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan mengamalkan ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok setiap muslim. Agar dapat mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan keahlian dan kemampuan kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan takwa kita semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Sabtu, 03 April 2010
CITA-CITA KAMI; MEMBUAT RASULULLAH TERSENYUM
Oleh Rachmat Ari Kusumanto
CEO Rumah Zakat Indonesia
Seorang teman bertanya, sebenarnya apa pekerjaan amil? Mengapa di sebuah Lembaga Amil Zakat memiliki begitu banyak karyawan yang bekerja di berbagai posisi? Bukankan pekerjaan LAZ adalah mengambil zakat dan kemudian menyalurkannya? So simple, katanya.
Sobat Zakat yang dimuliakan Allah, mari sejenak kita mengingat kisah detik-detik dimana Rasulullah Saw akan meninggalkan dunia ini selamanya. Tentu Sobat Zakat ingat apa yang diucapkannya kala itu. Ya, beliau berkata ”Ummatii..ummatii..ummatii”. Lalu menggapa bukan Laa illaha illallah?
Ust. Setiawan Budi Utomo Lc., seorang anggota Dewan Syariah Nasional menjelaskan bahwa kata-kata terakhir yang diungkapkan Rasullullah tersebut adalah implementasi tertinggi dari keimanan kepada Allah Swt. Di saat tubuhnya menahan rasa sakit karena Malaikat Izrail mencabut nyawa beliau dengan perlahan dan penuh kelembutan, Rasulullah tetap menggingat kita, umatnya! Subhanallah.
Lalu siapakah ”ummatii” yang dimaksud Rasulullah? Apakah hanya orang tak punya (mustahik)? Atau mereka yang berkecukupan (muzakki)? Tentu semua sepakat bahwa tak peduli kedudukan, suku, ataupun harta, seluruh kaum muslim adalah umat Rasulullah Saw.
Lalu mengapa Rasulullah mengkhawatirkan kita?
Sobat, sungguh meskipun kita telah memiliki kesamaan sebagai umat Rasulullah Saw, namun tetap saja ada garis pembatas sesama manusia. Selalu saja ada golongan yang disebut kaum elit, ada pula yang disebut kaum menengah dan ada juga yang dipanggil kaum papa. Intinya ada yang miskin dan ada yang kaya.
Tak dapat kita pungkiri bahwa fenomena yang kaya bertambah makmur, sementara yang miskin kian terpuruk itu masih ada. Akibatnya ketidakseimbangan hidup pun terjadi. Untuk itulah diperlukan sebuah katalisator agar yang kaya mendapatkan bantuan untuk menolong yang miskin.
Apa benar orang kaya perlu dibantu? Pada dasarnya semua manusia selalu memerlukan bantuan orang lain. Baik si kaya maupun para mustahik. Masih banyak para muzakki bingung hendak menyalurkan kelebihan uang mereka. Untuk itulah diperlukan sebuah lembaga yang dapat dipercaya untuk menjadi jembatan cinta antara muzakki dan mustahik.
Oleh karena itulah Rumah Zakat Indonesia (RZI) hadir sebagai pihak yang memiliki misi membantu para muzakki dalam menyalurkan sebagian harta mereka dan sebagi partner para mustahik agar lebih berdaya.
Berbicara mengenai pemberdayaan tak akan pernah ada habisnya. Pemberdayaan tak sekedar menyerahkan sejumlah uang dari muzakki kepada mustahik. Pemberdayaan adalah sebuah pola kerja yang membutuhkan inovasi, kreativitas serta didukung SDM berkualitas yang memiliki keikhlasan tingkat tinggi dalam rangka memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan bukanlah pemberian dari langit yang untuk mencapainya tak diperlukan usaha apapun.
Dengan demikian, jika ditanya apakah tujuan akhir kami, maka dengan yakin saya menjawab, menggapai Ridho Allah Swt dan membuat Rasulullah Saw tersenyum. Doakan kami Sobat Zakat agar senantiasa amanah dan profesional.
CEO Rumah Zakat Indonesia
Seorang teman bertanya, sebenarnya apa pekerjaan amil? Mengapa di sebuah Lembaga Amil Zakat memiliki begitu banyak karyawan yang bekerja di berbagai posisi? Bukankan pekerjaan LAZ adalah mengambil zakat dan kemudian menyalurkannya? So simple, katanya.
Sobat Zakat yang dimuliakan Allah, mari sejenak kita mengingat kisah detik-detik dimana Rasulullah Saw akan meninggalkan dunia ini selamanya. Tentu Sobat Zakat ingat apa yang diucapkannya kala itu. Ya, beliau berkata ”Ummatii..ummatii..ummatii”. Lalu menggapa bukan Laa illaha illallah?
Ust. Setiawan Budi Utomo Lc., seorang anggota Dewan Syariah Nasional menjelaskan bahwa kata-kata terakhir yang diungkapkan Rasullullah tersebut adalah implementasi tertinggi dari keimanan kepada Allah Swt. Di saat tubuhnya menahan rasa sakit karena Malaikat Izrail mencabut nyawa beliau dengan perlahan dan penuh kelembutan, Rasulullah tetap menggingat kita, umatnya! Subhanallah.
Lalu siapakah ”ummatii” yang dimaksud Rasulullah? Apakah hanya orang tak punya (mustahik)? Atau mereka yang berkecukupan (muzakki)? Tentu semua sepakat bahwa tak peduli kedudukan, suku, ataupun harta, seluruh kaum muslim adalah umat Rasulullah Saw.
Lalu mengapa Rasulullah mengkhawatirkan kita?
Sobat, sungguh meskipun kita telah memiliki kesamaan sebagai umat Rasulullah Saw, namun tetap saja ada garis pembatas sesama manusia. Selalu saja ada golongan yang disebut kaum elit, ada pula yang disebut kaum menengah dan ada juga yang dipanggil kaum papa. Intinya ada yang miskin dan ada yang kaya.
Tak dapat kita pungkiri bahwa fenomena yang kaya bertambah makmur, sementara yang miskin kian terpuruk itu masih ada. Akibatnya ketidakseimbangan hidup pun terjadi. Untuk itulah diperlukan sebuah katalisator agar yang kaya mendapatkan bantuan untuk menolong yang miskin.
Apa benar orang kaya perlu dibantu? Pada dasarnya semua manusia selalu memerlukan bantuan orang lain. Baik si kaya maupun para mustahik. Masih banyak para muzakki bingung hendak menyalurkan kelebihan uang mereka. Untuk itulah diperlukan sebuah lembaga yang dapat dipercaya untuk menjadi jembatan cinta antara muzakki dan mustahik.
Oleh karena itulah Rumah Zakat Indonesia (RZI) hadir sebagai pihak yang memiliki misi membantu para muzakki dalam menyalurkan sebagian harta mereka dan sebagi partner para mustahik agar lebih berdaya.
Berbicara mengenai pemberdayaan tak akan pernah ada habisnya. Pemberdayaan tak sekedar menyerahkan sejumlah uang dari muzakki kepada mustahik. Pemberdayaan adalah sebuah pola kerja yang membutuhkan inovasi, kreativitas serta didukung SDM berkualitas yang memiliki keikhlasan tingkat tinggi dalam rangka memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan bukanlah pemberian dari langit yang untuk mencapainya tak diperlukan usaha apapun.
Dengan demikian, jika ditanya apakah tujuan akhir kami, maka dengan yakin saya menjawab, menggapai Ridho Allah Swt dan membuat Rasulullah Saw tersenyum. Doakan kami Sobat Zakat agar senantiasa amanah dan profesional.
Jumat, 02 April 2010
Pengurus di Sekretariat Baitul Mal Aceh Selatan.
1 Drs. H. Zainuddin.S, Air Berudang,Tapaktuan ( Kepala Baitul Mal )
2 H. Thantawi. BA, Perumnas, Samadua ( Wakil Kepala Baitul Mal )
3 Drs. Yulizar Yunus, Lhok Keutapang, Tapaktuan ( Sekretaris Baitul Mal )
4 Hartati, S.Ag, Perumnas, Samadua ( Bendahara Baitul Mal )
5 H. Elizar, Padang, Tapaktuan (Pemegang Kas Baitul Mal )
6 Eka Sahputra Gp. Payo Nan_Gadang, Samadua ( Staf Elektronik dan Data )
7 Sukhri Gp. Batu Itam, Tapaktuan ( Ka. Sub Adm UPZP )
2 H. Thantawi. BA, Perumnas, Samadua ( Wakil Kepala Baitul Mal )
3 Drs. Yulizar Yunus, Lhok Keutapang, Tapaktuan ( Sekretaris Baitul Mal )
4 Hartati, S.Ag, Perumnas, Samadua ( Bendahara Baitul Mal )
5 H. Elizar, Padang, Tapaktuan (Pemegang Kas Baitul Mal )
6 Eka Sahputra Gp. Payo Nan_Gadang, Samadua ( Staf Elektronik dan Data )
7 Sukhri Gp. Batu Itam, Tapaktuan ( Ka. Sub Adm UPZP )
QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG BAITUL MAL
1
QANUN ACEH
NOMOR 10 TAHUN 2007
TENTANG
BAITUL MAL
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Syariat Islam dan mengoptimalkan
pendayagunaan zakat, wakaf, dan harta agama sebagai potensi
ekonomi umat Islam, perlu dikelola secara optimal dan efektif oleh
sebuah lembaga profesional yang bertanggungjawab;
b. bahwa dalam kenyataannya, pengelolaan zakat, wakaf dan harta
agama lainnya telah lama dikenal dalam masyarakat Aceh, namun
pengelolaannya belum dapat secara optimal;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 180 ayat (1) huruf d, Pasal 191
dan Pasal 192 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, berkenaan dengan zakat, wakaf, dan harta
agama dikelola oleh Baitul Mal yang diatur dengan Qanun Aceh;
d. bahwa untuk maksud tersebut, perlu membentuk Qanun Aceh
tentang Baitul Mal.
Mengingat : 1. Al-Qur’an;
2. Al-Hadist;
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi
Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1103);
4. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
(Lembaran Negara Republik Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885);
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Atjeh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3893);
2
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109);
7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4280);
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor Tahun 2004 Nomor 4355);
9. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4548);
11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459);
12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4611,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611);
13. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633 );
14. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 105);
3
15. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum
dalam rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias di Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 119);
16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 89);
18. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 140);
19. Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5
Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
20. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002
tentang Peradilan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);
21. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002
tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar
Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun
2002 Nomor 54 Seri E Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5);
22. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 2 Tahun 2003
tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Kabupaten/Kota
dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 15 Seri D
Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 18);
4
23. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2003
tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Pemerintah
Kecamatan dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 16
Seri D Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 19);
24. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003
tentang Pemerintahan Gampong (Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 17 Seri D Nomor 7,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 21);
25. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan
Qanun (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007
Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
Tahun 2007 Nomor 03);
26. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah;
27. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 373 Tahun
2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH
dan
GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : QANUN ACEH TENTANG BAITUL MAL.
5
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1. Aceh adalah Daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
2. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.
3. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas
gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin
oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah Camat.
4. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah
Mukim dan dipimpin oleh Keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan
urusan rumah tangga sendiri.
5. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sesuai
dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
6. Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
7. Gubernur adalah Kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses
demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
6
8. Bupati/Walikota adalah kepala pemerintahan daerah kabupaten/kota yang dipilih
melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil.
9. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA) adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Aceh yang
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
10. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Dewan
Perwakilan Rakyat kabupaten/kota (DPRK) adalah unsur penyelenggara
pemerintahan kabupaten/kota yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
11. Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk
mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk
kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu
dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali
berdasarkan Syariat Islam.
12. Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disebut LAZ adalah institusi pengelola zakat
yang sudah ada atas prakarsa masyarakat dan didaftarkan pada Baitul Mal.
13. Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disebut UPZ adalah satuan organisasi yang
dibentuk oleh Baitul Mal Aceh dan Kabupaten/Kota dengan tugas mengumpulkan
zakat para muzakki pada instansi pemerintah dan lingkungan swasta.
14. Zakat adalah bagian dari harta yang wajib disisihkan oleh sorang muslim atau badan
(koorporasi) sesuai dengan ketentuan Syariat Islam untuk disalurkan kepada yang
berhak menerimanya dibawah pengelolaan Baitul Mal.
15. Zakat Fitrah adalah sejumlah bahan makanan pokok atau uang senilai harganya yang
dikeluarkan oleh setiap orang Islam untuk diri dan tanggungannya pada akhir
Ramadhan sesuai dengan ketentuan syari’at.
16. Zakat Maal adalah zakat yang dikenakan atas harta yang disisihkan oleh seorang
muslim atau badan yang dimilki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’at.
17. Muzakki adalah orang atau badan yang berkewajiban menunaikan zakat.
18. Mustahik adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat.
19. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariat yang
diwakafkan oleh wakif untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umat.
20. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
7
21. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
22. Harta Agama adalah sejumlah kekayaan umat Islam yang bersumber dari zakat,
infaq, shadaqah, wakaf, hibah, meusara, harta wasiat, harta warisan, dan lain-lain
yang diserahkan kepada Baitul Mal untuk di kelola dikembangkan sesuai dengan
ketentuan Syariat.
23. Pengelolaan Harta Agama adalah serangkaian kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pemeliharaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap penetapan,
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan oleh Baitul Mal.
24. Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota adalah
pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan
agama yang merupakan bagian dari sistem peradilan nasional.
25. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau badan sebagai
wakil dari anak atau sebagai pengampu dari orang yang tidak cakap untuk
melakukan suatu perbuatan hukum demi kepentingan dan atas nama anak atau
orang yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya tidak cakap melakukan
perbuatan hukum.
26. Wali adalah orang atau badan yang menjalankan kekuasaannya terhadap anak atau
orang yang tidak mempunyai orang tuanya lagi atau orang tua dan ianya tidak cakap
melakukan perbuatan hukum, baik untuk kepentingan pribadi, maupun harta
kekayaannya.
27. Harta yang tidak diketahui pemiliknya adalah harta yang meliputi harta tidak
bergerak, maupun harta bergerak, termasuk surat berharga, simpanan di bank, klaim
asuransi yang tidak diketahui lagi pemilik atau tidak ada lagi ahli warisnya.
28. Majelis Permusyawaratan Ulama selanjutnya disebut MPU adalah majelis yang
anggotanya terdiri atas ulama dan cendikiawan muslim yang merupakan mitra kerja
Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK baik pada tingkat
Provinsi, Kabupaten/Kota maupun Kecamatan.
29. Pembina Kecamatan adalah pihak yang berwewenang melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap Baitul Mal Kemukiman dan Baitul Mal Gampong atau nama
lain dalam Kecamatan tersebut.
30. Badan Usaha adalah suatu badan yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama
dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, koperasi, yayasan atau
organisasi yang sejenis, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya.
8
31. Kepala Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KAKUAKEC adalah Kepala
Urusan Agama di kecamatan yang merupakan aparat paling bawah dari Departemen
Agama Republik Indonesia.
32. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh, yang selanjutnya disebut Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah Provinsi Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh.
33. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, yang selanjutnya disebut
Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dengan Qanun
Kabupaten/Kota.
34. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala
satuan kerja pengelola keuangan daerah yang mempunyai tugas melaksanakan
pengelolaan APBA/APBK dan bertindak sebagai bendahara umum daerah.
35. Bendahara Umum Daerah, selanjutnya disingkat BUD adalah PPKD yang bertindak
dalam kapasitas sebagai bendahara umum daerah.
36. ‘Uqubat adalah ketentuan atau ancaman hukuman terhadap pelanggar jarimah ta’zir
yang berkenaan dengan zakat.
BAB II
PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI BAITUL MAL
Bagian Kesatu
Pembentukan Baitul Mal
Pasal 2
Dengan Qanun ini dibentuk Baitul Mal Aceh, Baitul Mal Kabupaten/Kota, Baitul Mal
Kemukiman dan Baitul Mal Gampong.
Pasal 3
(1) Baitul Mal Aceh adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam melaksanakan
tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan bertanggung
jawab kepada Gubernur.
(2) Baitul Mal Kabupaten/Kota adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam
melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan
bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.
9
(3) Baitul Mal Mukim adalah Lembaga Kemukiman Non Struktural yang dalam
melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan
bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(4) Baitul Mal Gampong adalah Lembaga Gampong Non Struktural yang dalam
melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan
bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi Baitul Mal Aceh
Pasal 4
(1) Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh terdiri atas Kepala, Sekretaris, Bendahara, Bidang
Pengawasan, Bidang Pengumpulan, Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan,
Bidang Sosialisasi dan Pengembangan dan Bidang Perwalian yang terdiri dari Sub
Bidang dan Sub Bagian.
(2) Jabatan Kepala, Wakil Kepala, Sekretaris, Bendahara, Kepala Subbag dan Kepala Sub
Bidang Baitul Mal Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
(3) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat/pimpinan badan Baitul Mal Aceh harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. bertaqwa kepada Allah SWT dan taat beribadah;
b. amanah, jujur dan bertanggungjawab;
c. memiliki kredibilitas dalam masyarakat;
d. mempunyai pengetahuan tentang zakat, waqaf, harta agama dan harta lainnya
serta manajemen;
e. memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan pengelolaan zakat, waqaf,
harta agama dan harta lainnya, dan
f. syarat-syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Sebelum diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur membentuk tim
independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan
terhadap calon-calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Aceh.
(5) Tata cara uji kelayakan dan kepatutan pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal
Aceh ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
10
(6) Calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Aceh, sebelum ditunjuk dan diangkat oleh
Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih dahulu harus mendapat
persetujuan Pimpinan DPRA, melalui telaahan Komisi terkait.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Susunan Organisasi Baitul Mal Kabupaten/Kota
Pasal 5
(1) Badan Pelaksana Baitul Mal Kabupaten/Kota terdiri atas Kepala, Sekretaris,
Bendahara, Bagian Pengumpulan, Bagian Pendistribusian dan Pendayagunaan, Bagian
Sosialisasi dan Pembinaan dan Bagian perwalian yang terdiri dari Sub Bagian dan
Seksi.
(2) Jabatan Kepala, Sekretaris, Bendahara dan Kepala Subbag dan Kepala Sub Bidang
Baitul Mal Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Bupati/Walikota.
(3) Pembinaan Baitul Mal Mukim dan Gampong atau nama lain dilaksanakan oleh Camat,
Kepala KUA Kecamatan dan Ketua MPU Kecamatan di bawah koordinasi Baitul Mal
kabupaten/Kota.
(4) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat/pimpinan badan Baitul Mal Kabupaten/Kota
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. bertaqwa kepada Allah SWT dan taat beribadah;
b. amanah, jujur dan bertanggung jawab;
c. memiliki kredibilitas dalam masyarakat;
d. mempunyai pengetahuan tentang zakat, waqaf, harta agama dan harta lainnya
serta manajemen;
e. memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan pengelolaan zakat, waqaf,
harta agama dan harta lainnya, dan
f. syarat-syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Sebelum diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati/Walikota membentuk
tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan
terhadap calon-calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Kabupaten/Kota.
11
(6) Tata cara uji kelayakan dan kepatutan pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal
Kabupaten/Kota ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.
(7) Calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Kabupaten/Kota, sebelum ditunjuk dan
diangkat oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih dahulu
harus mendapat persetujuan Pimpinan DPRK, melalui telaahan Komisi terkait.
(8) Ketentuan lebih lanjut tentang struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam peraturan Bupati/Walikota.
Bagian Keempat
Susunan Organisasi Baitul Mal Kemukiman
Pasal 6
(1) Pada tingkat kemukiman dapat dibentuk Badan Pelaksana Baitul Mal kemukiman.
(2) Badan Pelaksana Baitul Mal Kemukiman sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah
Lembaga Non Struktural terdiri atas Ketua yang karena jabatannya dilaksanakan
oleh Imuem Mesjid Kemukiman atau nama lain, Sekretaris, Bendahara, Seksi
Perwalian, Seksi Perencanaan dan Pendataan dan Seksi Pengawasan yang ditetapkan
oleh Imuem Mukim atau nama lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam peraturan Bupati/Walikota.
Bagian Kelima
Susunan Organisasi Baitul Mal Gampong
Pasal 7
(1) Badan Pelaksana Baitul Mal Gampong atau nama lain adalah Lembaga Non
Struktural, yang terdiri atas Ketua yang karena jabatannya dilaksanakan oleh Imuem
Meunasah atau Imuem Mesjid atau nama lain, Sekretaris, Bendahara, Urusan
Perwalian, Urusan Pengumpulan dan Urusan Penyaluran yang ditetapkan oleh
Keuchik atau nama lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam peraturan Bupati/Walikota.
12
BAB III
KEWENANGAN DAN KEWAJIBAN BAITUL MAL
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Kewenangan
Pasal 8
(1) Baitul Mal mempunyai fungsi dan kewenangan sebagai berikut:
a. mengurus dan mengelola zakat, wakaf, dan harta agama;
b. melakukan pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat;
c. melakukan sosialisasi zakat, wakaf dan harta agama lainnya;
d. menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali
pengawas terhadap wali nashab, dan wali pengampu terhadap orang dewasa
yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
e. menjadi pengelola terhadap harta yang tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya
berdasarkan putusan Mahkamah Syari’ah; dan
f. membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan
pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan prinsip saling menguntungkan.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
ketentuan syari’at dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
Dalam menjalankan kewenangannya yang berkaitan dengan syar’iat, Baitul Mal
berpedoman pada fatwa MPU Aceh.
Bagian Kedua
Kewenangan dan Kewajiban Baitul Mal Aceh
Pasal 10
(1) Baitul Mal Aceh sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 berwenang mengumpulkan,
mengelola dan menyalurkan :
a. Zakat Mal pada tingkat Provinsi meliputi : BUMN, BUMD Aceh dan Perusahaan
swasta besar;
b. Zakat Pendapatan dan Jasa/Honorium dari :
13
1. pejabat/PNS/TNI-POLRI, Karyawan Pemerintah Pusat yang berada di Ibukota
Provinsi;
2. pejabat/PNS/Karyawan lingkup Pemerintah Aceh;
3. pimpinan dan anggota DPRA;
4. karyawan BUMN/BUMD dan perusahan swasta besar pada tingkat Provinsi;
dan
5. ketua, anggota dan karyawan lembaga dan badan daerah tingkat provinsi.
c. Harta Agama dan harta waqaf yang berlingkup provinsi.
(2) Membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) yang ditetapkan dengan keputusan Baitul Mal Aceh.
(3) Meminta Laporan secara periodik setiap 6 (enam) bulan dari Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
(4) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan Baitul Mal Kabupaten/
Kota.
Pasal 11
(1) Menyampaikan laporan dan pertanggungjawaban secara periodik setiap 6 (enam)
bulan kepada Gubernur.
(2) Menginformasikan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
Bagian Kedua
Kewenangan dan Kewajiban Baitul Mal Kabupaten/Kota
Pasal 12
(1) Baitul Mal Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang
mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan :
a. zakat mal pada tingkat Kabupaten/Kota meliputi :
BUMD dan Badan Usaha yang berklasifikasi menengah.
b. zakat pendapatan dan jasa/ honorarium dari :
1. pejabat/PNS/TNI-POLRI, Karyawan Pemerintah Pusat/Pemerintah Aceh pada
tingkat Kabupaten/ Kota;
2. pejabat/PNS/Karyawan lingkup Pemerintah Kabupaten/Kota;
3. pimpinan dan Anggota DPRK; dan
14
4. karyawan BUMN/BUMD dan perusahaan swasta yang berada pada tingkat
Kabupaten/Kota.
c. Zakat sewa rumah/pertokoan yang terletak di Kabupaten/Kota.
d. Harta Agama dan harta waqaf yang berlingkup kabupaten/kota
(2) membentuk Unit Pengumpul Zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) yang ditetapkan dengan keputusan Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(3) Meminta Laporan secara periodik setiap 6 (enam) bulan dari Baitul Mal Kemukiman
dan Gampong atau nama lain.
(4) Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan Baitul Mal Kemukiman
dan Gampong atau nama lain.
Pasal 13
(1) Menyampaikan laporan dan pertanggungjawaban secara periodik setiap 6 (enam)
bulan kepada Bupati/Walikota.
(2) Menginformasikan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
Bagian Ketiga
Kewenangan dan Kewajiban Baitul Mal Kemukiman
Pasal 14
Baitul Mal Kemukiman mengelola dan mengembangkan harta agama dan harta waqaf
lingkup kemukiman.
Pasal 15
(1) Menyampaikan laporan dan pertanggungjawaban secara periodik setiap 6 (enam)
bulan kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(2) Menginformasikan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
Bagian Keempat
Kewenangan dan Kewajiban Baitul Mal Gampong atau nama lain
Pasal 16
(1) Baitul Mal Gampong atau nama lain berwenang mengelola, mengumpulkan dan
menyalurkan:
a. zakat fitrah di lingkup Gampong yang bersangkutan;
15
b. zakat hasil perdagangan/usaha kecil, hasil pertanian, hasil peternakan, hasil
perikanan dan hasil perkebunan dari masyarakat setempat;
c. zakat emas dan perak; dan
d. harta agama dan harta waqaf dalam lingkup Gampong atau nama lain.
(2) Menyelenggarakan tugas-tugas perwalian.
Pasal 17
(1) Menyampaikan laporan dan pertanggungjawaban secara periodik setiap 6 (enam)
bulan kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(2) Menginformasikan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
BAB IV
ZAKAT
Bagian Kesatu
Kewajiban Zakat
Pasal 18
(1) Zakat yang wajib dibayar terdiri atas zakat fitrah, zakat maal, dan zakat penghasilan.
(2) Jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah :
a. emas, perak, logam mulia lainnya dan uang;
b. perdagangan dan perusahaan;
c. perindustrian;
d. pertanian, perkebunan dan perikanan;
e. perternakan;
f. pertambangan;
g. pendapatan dan jasa; dan
e. rikaz.
(3) Jenis harta lain yang wajib dikeluarkan zakatnya diluar yang dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan berdasarkan fatwa MPU Aceh.
16
Pasal 19
(1) Perhitungan kadar, nishab dan waktu (haul) zakat mal ditetapkan sebagai berikut :
a. emas, perak, logam mulia dan uang yang telah mencapai nishab 94 gram emas
yang disimpan selama setahun, wajib zakatnya 2,5% pertahun;
b. harta perdagangan, perusahaan dan perindustrian yang telah mencapai nishab 94
gram emas pertahun, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5% dari jumlah
keuntungan;
c. hasil pertanian dan perkebunan yang telah mencapai nishab 5 wasaq (seukuran
6 gunca padi = 1.200 Kg padi), wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 5% untuk
setiap panen yang diolah secara intensif dan 10% untuk setiap panen yang diolah
secara tradisional;
d. hewan ternak kambing atau sejenisnya yang telah mencapai nishab 40 ekor,
wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak satu ekor pertahun;
e. hewan ternak sapi, kerbau atau sejenisnya yang telah mencapai nishab 30 ekor
wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak satu ekor pertahun;
f. barang tambang yang hasilnya mencapai nishab senilai 94 gram emas, wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5% untuk setiap produksi/temuan;
g. pendapatan dan jasa yang telah mencapai nishab senilai 94 gram emas setahun,
wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5%; dan
h. rikaz yang telah mencapai nishab senilai 94 gram emas, wajib dikeluarkanzakatnya
sebesar 20% untuk setiap temuan.
(2) Jumlah nishab dan kadar harta lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(3) ditetapkan oleh MPU Aceh.
(3) Pembayaran zakat pendapatan/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
dapat dicicil setiap bulan pada saat menerima pendapatan/jasa, apabila jumlah
pendapatan/jasa yang diterima setiap bulan telah mencapai 1/12 dari 94 gram emas
atau dibulatkan menjadi 7,84 gram emas.
Pasal 20
(1) Pengumpulan zakat dilakukan oleh Baitul Mal dengan cara menerima atau mengambil
dari muzakki berdasarkan pemberitahuan muzakki.
(2) Baitul Mal dapat bekerjasama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzakki
yang ada di bank berdasarkan permintaan muzakki.
17
Bagian Kedua
Muzakki
Pasal 21
(1) Setiap orang yang beragama Islam atau badan yang dimiliki oleh orang Islam dan
berdomisili dan/atau melakukan kegiatan usaha di Aceh yang memenuhi syarat
sebagai muzakki menunaikan zakat melalui Baitul Mal setempat.
(2) Setiap orang atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak memenuhi
syarat sebagai muzakki, dapat membayar infaq kepada Baitul Mal sesuai dengan
ketentuan syari’at.
Pasal 22
(1) Muzakki dapat melakukan perhitungan sendiri terhadap hartanya dan kewajiban
zakatnya berdasarkan ketentuan syari’at.
(2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), muzakki dapat meminta Baitul Mal untuk
menghitungnya.
Pasal 23
(1) Zakat selain zakat fitrah, yang dibayarkan kepada Baitul Mal menjadi faktor
pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak.
(2) Pembayaran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempergunakan
Bukti Pembayaran Zakat (BPZ) yang dikeluarkan Baitul Mal Aceh atau Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
(3) Bukti Pembayaran Zakat (BPZ) yang dapat diakui sebagai bukti pengurang jumlah
pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak, sekurang-kurangnya harus memuat :
a. nama lengkap wajib zakat/wajib pajak;
b. alamat jelas wajib zakat/wajib pajak;
c. nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ);
e. jenis penghasilan yang dibayar zakatnya;
f. sumber/jenis penghasilan dan bulan/tahun perolehannya;
g. besarnya penghasilan; dan
h. besarnya zakat atas penghasilan.
(4) Pemberian dan pengaturan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) ditetapkan oleh Kepala
Baitul Mal Aceh atau Baitul Mal Kabupaten/Kota.
18
BAB V
PENGELOLAAN ZAKAT
Bagian Kesatu
Pengelolaan Zakat Provinsi
Pasal 24
(1) Pembayaran zakat pendapatan/jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1)
huruf g dilakukan melalui tempat muzakki bekerja.
(2) Semua penerimaan zakat yang dikelola Baitul Mal Aceh merupakan sumber PAD Aceh
yang harus disetor ke Kas Umum Daerah Aceh.
(3) PAD Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disimpan dalam rekening tersendiri
Bendaharawaan Umum Daerah (BUD) Aceh yang ditunjuk Gubernur.
(4) Pengumpul dana hasil zakat disampaikan pada rekening tersendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dicairkan untuk kepentingan program dan
kegiatan yang diajukan oleh Kepala Baitul Mal Aceh sesuai dengan asnaf masingmasing.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran zakat oleh Muzakki dan
pencairan dana zakat oleh Baitul Mal Aceh dari Bendaharawaan Umum Daerah (BUD)
diatur dengan peraturan Gubernur.
Bagian Kedua
Pengelolaan Zakat Kabupaten/Kota
Pasal 25
(1) Pembayaran zakat pendapatan/jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1)
huruf g dilakukan melalui tempat muzakki bekerja.
(2) Semua penerimaan zakat yang dikelola Baitul Mal Kabupaten/Kota merupakan
sumber PAD Kabupaten/Kota yang harus disetor ke Kas Umum Daerah
Kabupaten/Kota.
(3) PAD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disimpan dalam rekening
tersendiri Bendaharawaan Umum Daerah (BUD) Kabupaten/Kota yang ditunjuk
Bupati/Walikota.
(4) Pengumpul dana hasil zakat disampaikan pada rekening tersendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dicairkan untuk kepentingan program dan
kegiatan yang diajukan oleh Kepala Baitul Mal Kabupaten/Kota sesuai dengan asnaf
masing-masing.
19
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran zakat oleh Muzakki dan
pencairan dana zakat oleh Baitul Mal Kabupaten/Kota dari Bendaharawaan Umum
Daerah (BUD) diatur dengan peraturan Bupati/Walikota.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Zakat Gampong atau nama lain
Pasal 26
(1) Penerimaan zakat fitrah diurus oleh Baitul Mal Gampong atau nama lain untuk
disalurkan kepada mustahik di lingkungan gampong atau nama lain tersebut sesuai
dengan ketentuan syariah.
(2) Zakat fitrah di gampong atau nama lain yang tidak habis dibagi karena terbatas
jumlah mustahik dapat dibagi kepada mustahik gampong atau nama lain terdekat.
Pasal 27
(1) Zakat mal yang diurus oleh Baitul Mal Gampong atau nama lain disalurkan kepada
mustahik sesuai dengan ketentuan syari’at.
(2) Pembina Kecamatan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan
operasional Baitul Mal Kemukiman dan gampong atau nama lainnya.
Pasal 28
Tata cara pengelolaan zakat oleh Baitul Mal Gampong atau nama lain diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota.
BAB VI
PENDAYAGUNAAN ZAKAT
Pasal 29
(1) Zakat didayagunakan untuk mustahik baik yang bersifat produktif maupun konsumtif
berdasarkan ketentuan syari’at.
(2) Mustahik zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. adanya suatu jenis usaha produktif yang layak;
b. bersedia menerima petugas pendamping yang berfungsi sebagai pembimbing/
penyuluh; dan
20
c. bersedia menyampaikan laporan usaha secara periodik setiap 6 (enam) bulan.
(3) Tata cara pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Baitul Mal Aceh.
BAB VII
HARTA WAKAF DAN HARTA AGAMA
Bagian Kesatu
Harta Wakaf
Pasal 30
Jenis harta wakaf yang dikelola oleh Baitul Mal meliputi benda tidak bergerak dan benda
bergerak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 31
(1) Baitul Mal pada setiap tingkatan dapat menjadi nazhir untuk menerima harta wakaf
dari wakif guna dikelola dan dikembangkan sesuai dengan ketentuan syari’at.
(2) Penyerahan harta wakaf oleh wakif kepada Baitul Mal sesuai dengan ketentuan
syari’at dan peraturan perundang-undangan.
(3) Harta wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di kelola oleh Baitul Mal untuk
meningkatkan fungsi, potensi dan manfaat ekonomi harta wakaf tersebut guna
kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umat.
Pasal 32
Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) mempunyai tugas :
a. melakukan pengadministrasian harta wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf;
c. mengawasi dan melindungi harta wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugasnya secara berjenjang; dan
e. melaporkan pelaksanaannya kepada Gubernur, atau Bupati/Walikota dengan tembusan
kepada Kepala Badan Wakaf Indonesia.
21
Pasal 33
(1) Untuk membiayai pelaksanaan tugas pengelolaan harta wakaf sebagaimana dimaksud
dalam pasal 31 ayat (3), nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas
pengelolaan dan pengembangan harta wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%
(sepuluh persen).
(2) Nazhir Provinsi dan Kabupaten/Kota yang telah mendapat gaji/upah karena
jabatannya sebagai pengelola Baitul Mal dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Harta Agama
Pasal 34
Baitul Mal dapat menerima harta agama untuk dikelola sesuai dengan ketentuan Syari’at.
Pasal 35
(1) Penggunaan harta agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 diutamakan untuk
kepentingan ibadah dan kesejahteraan umat.
(2) Penggunaan harta agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
transparans dan akuntabel.
Bagian Ketiga
Harta Yang Tidak Diketahui Pemiliknya
Pasal 36
(1) Harta yang tidak diketahui pemiliknya, berada di bawah pengawasan dan pengelolaan
Baitul Mal Kabupaten/Kota berdasarkan penetapan Mahkamah Syar’iyah.
(2) Baitul Mal Kabupaten/Kota mengajukan permohonan kepada Mahkamah Syar’iyah
untuk ditetapkan sebagai pengelola harta yang tidak diketahui pemiliknya.
(3) Baitul Mal sebagai pengelola harta yang tidak diketahui pemiliknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak boleh mengalihkan harta tersebut kepada pihak lain.
Pasal 37
(1) Dalam hal pemilik dan/atau ahli waris dari harta yang tidak diketahui pemiliknya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 diketahui kembali, yang bersangkutan dapat
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Syar’iyah untuk dikembalikan haknya.
22
(2) Dalam hal Mahkamah Syari’ah mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Baitul Mal wajib segera mengembalikan harta tersebut kepada pemilik
atau ahli warisnya.
Pasal 38
(1) Baitul Mal sebagai pengelola harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
berhak atas biaya pengelolaan paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari hasil
pengelolaan yang ditetapkan oleh Kepala Baitul Mal.
(2) Harta yang tidak diketahui pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
penggunaannya diutamakan untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umat.
BAB VIII
PERWALIAN
Pasal 39
(1) Dalam hal orang tua anak atau wali nasab telah meninggal atau tidak cakap
melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau
keberadaannya maka Baitul Mal dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang
bersangkutan.
(2) Wali sebagaimana dimaksud ayat (1) mengasuh dan mengelola harta kekayaan anak
sesuai peraturan perundang-undangan.
(3) Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Mahkamah
Syar’iyah.
Pasal 40
(1) Orang yang tidak cakap bertindak menurut hukum yang orang tuanya atau wali nasab
telah meninggal atau tidak cakap bertindak menurut hukum, maka yang bersangkutan
dan harta kekayaannya dapat diurus oleh Baitul Mal sebagai wali pengampu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal tidak ada orang yang menjadi wali pengampu maka Baitul Mal sebagai wali
pengawas mengajukan permohonan penetapan sebagai wali pengampu kepada
Mahkamah Syar’iyah.
Pasal 41
(1) Dalam hal telah dilakukan penetapan wali sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat
(1) dan Pasal 40 ayat (2) Baitul Mal menjadi Wali Pengawas.
23
(2) Dalam hal wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menjalankan tugas
sebagaimana mestinya, Baitul Mal sebagai Wali Pengawas dapat mengajukan
permohonan sebagai wali pengganti.
(3) Permohonan penggantian wali sebagimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh
Baitul Mal kepada Mahkamah Syar’iyah setempat.
Pasal 42
(1) Dalam menjalankan tugasnya sebagai wali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (1) dan Pasal 41 ayat (2), Baitul Mal wajib:
a. mengurus anak atau orang yang di bawah pengasuhan/pengampuannya dan
harta bendanya dengan sebaik-baiknya;
b. membuat daftar harta kekayaan anak atau orang sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang harta kekayaannya berada dibawah kekuasaannya pada waktu
memulai jabatannya serta mencatat semua perubahan-perubahan; dan
c. bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaiannya.
(2) Untuk membiayai pengelolaan harta kekayaan dan pengasuhan anak atau orang tidak
cakap yang menjadi tanggungjawabnya, Baitul Mal dapat mengambil biaya dari hasil
harta tersebut dalam jumlah wajar yang ditetapkan oleh kepala Baitul Mal setempat.
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 43
(1) Biaya operasional Baitul Mal Aceh dibebankan pada APBA dan sumber lain yang tidak
mengikat.
(2) Biaya operasional Baitul Mal Kabupaten/Kota dibebankan pada APBK dan sumber lain
yang tidak mengikat.
(3) Biaya operasional Baitul Mal Kemukiman dan Baitul Mal Gampong atau nama lain
dibebankan pada senif amil zakat, dan/atau hasil pengelolaan harta agama yang
berada dibawah pengelolannya.
Pasal 44
Semua pembiayaan Baitul Mal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 harus dikelola dan
dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
24
BAB X
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 45
(1) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran pengelolaan zakat dan harta
agama dilakukan oleh penyidik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. penyidik POLRI yang diberi wewenang penyidikan di bidang Syari’at Islam;
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Pasal 46
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2) huruf a berwenang :
a. menerima laporan pelanggaran atau pengaduan;
b. melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian;
c. memanggil orang/ badan untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
d. melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mendatangkan ahli apabila diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
g. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah dan memberitahukan hal
tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan pelapor; dan
h. mengadakan tindakan lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat (2) huruf b dalam melaksanakan
kewenangannya berada dibawah koordinasi penyidik sebagaimana dimaksud pasal 45
ayat (2) huruf a.
(3) Dalam melakukan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik
wajib menjunjung tinggi prinsip-prinsip Syariat Islam, adat-istiadat dan hukum adat
yang berlaku.
25
Pasal 47
Penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan tentang pelanggaran terhadap
Qanun ini, wajib segera melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 48
Penuntut umum, menuntut perkara jarimah zakat dan harta agama yang terjadi dalam
daerah hukumnya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
Penuntut umum mempunyai kewenangan :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;
b. memberi petunjuk kepada penyidik untuk penyempurnaan apabila ada kekurangan
pada penyidikan;
c. membuat surat dakwaan;
d. melimpahkan perkara ke Mahkamah Syari’ah;
e. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa dan keluarganya tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun saksi untuk datang pada sidang mahkamah yang telah
ditentukan;
f. melakukan penuntutan;
g. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sabagai penuntut
umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. melaksanakan putusan hakim.
BAB XI
KETENTUAN ‘UQUBAT
Pasal 50
Setiap orang Islam atau Badan yang melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (1), dihukum
karena melakukan jarimah ta’zir dengan ‘uqubat, berupa :
a. denda paling sedikit satu kali nilai zakat yang wajib dibayarkan, paling banyak dua kali
nilai zakat yang wajib dibayarkan; dan
b. kewajiban membayar seluruh biaya yang diperlukan sehubungan dengan audit
khusus.
26
Pasal 51
Barang siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan surat Baitul Mal yang dapat
mengakibatkan gugurnya kewajiban membayar zakat, dihukum karena pemalsuan surat
dengan ‘uqubat ta’zir, berupa denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah),
paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama tiga
bulan atau paling singkat satu bulan.
Pasal 52
Barang siapa yang melakukan, turut melakukan atau membantu melakukan penggelapan
zakat, atau harta agama lainnya yang seharusnya diserahkan pengelolaannya kepada
Baitul Mal, dihukum karena penggelapan, dengan ‘uqubat ta’zir berupa cambuk di depan
umum paling sedikit satu kali, paling banyak tiga kali, dan denda paling sedikit satu kali,
paling banyak dua kali, dari nilai zakat, wakaf, atau harta agama lainnya yang digelapkan.
Pasal 53
Petugas Baitul Mal yang melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal
30 ayat (1) dan Pasal 33 dihukum karena melakukan jarimah penyelewengan pengelolaan
zakat dan harta agama dengan ‘uqubat ta’zir hukuman denda paling sedikit Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah), paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) atau
hukuman kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan
membayar kembali kepada Baitul Mal senilai zakat atau harta agama yang diselewengkan.
Pasal 54
Dalam hal jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 dan Pasal
53 dilakukan oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) ‘uqubatnya
dijatuhkan kepada pimpinan atau pengurus badan tersebut sesuai dengan tanggung
jawabnya.
BAB XII
PELAKSANAAN ‘UQUBAT
Pasal 55
(1) ‘Uqubat ta’zir yang telah ditetapkan dalam putusan Mahkamah Syar’iyah dilaksanakan
oleh jaksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan
hukum tetap.
27
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 56
(1) Lembaga Amil Zakat atau Badan Pengumpul Zakat lainnya yang telah ada pada saat
qanun ini disahkan dapat melakukan kegiatannya setelah mendaftar pada Baitul Mal
Aceh atau Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(2) Dalam melaksanakan kegiatannya Lembaga Amil Zakat atau Badan Pengumpul Zakat
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan koordinasi dan
melaporkan setiap kegiatannya kepada Baitul Mal Aceh atau Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
(3) Lembaga Amil Zakat atau Badan Pengumpul Zakat lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihentikan kegiatannya paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 57
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diatur lebih lanjut dengan keputusan
Badan Baitul Mal Aceh.
Pasal 58
(1) Nazhir waqaf yang telah ada pada saat qanun ini disahkan dapat melanjutkan
pengelolaan harta agama setelah mendaftar pada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(2) Dalam melaksanakan kegiatannya Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melakukan koordinasi dan melaporkan setiap kegiatannya kepada Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
Pasal 59
Semua lembaga yang mengurus zakat, wakaf, dan harta agama yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 57 dan Pasal 58 dilarang melakukan
kegiatan dan semua aset dialihkan menjadi aset Baitul Mal.
Pasal 60
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai zakat, waqaf dan harta
agama sejauh tidak diatur dan tidak bertentangan dengan Qanun ini dinyatakan tetap
berlaku.
28
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pengelolaan zakat, harta wakaf, dan harta
agama lainnya diatur dengan:
a. Peraturan Gubernur untuk lingkup Provinsi Aceh;
b. Peraturan Bupati/Walikota untuk lingkup Kabupaten/Kota, Kemukiman dan Gampong
atau nama lain.
Pasal 62
Pada saat Qanun ini mulai berlaku, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7
Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Tahun 2004 Nomor Seri B Nomor 4) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 63
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Aceh.
Disahkan di Banda Aceh
pada tanggal 17 Januari 2008 M
8 Muharam 1429 H
GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
IRWANDI YUSUF
Diundangkan di Banda Aceh
pada tanggal 18 Januari 2008 M
9 Muharam 1429 H
SEKRETARIS DAERAH ACEH,
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
HUSNI BAHRI TOB
LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2007 NOMOR 10
29
PENJELASAN ATAS
QANUN ACEH
NOMOR 10 TAHUN 2007
TENTANG
BAITUL MAL
A. UMUM
Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh berdasarkan Undang-undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh telah
mendorong Pemerintah Aceh untuk membentuk lembaga-lembaga yang didasarkan pada
ketentuan hukum Islam yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Aceh. Salah satu
lembaga tersebut adalah Baitul Mal. Lembaga ini sangat strategis dan penting
keberadaannya dalam rangka mengoptimalkan pendayagunaan zakat, waqaf dan harta
agama sebagai potensi ekonomi umat Islam yang perlu dikelola secara efektif oleh sebuah
lembaga profesional yang bertanggung jawab.
Berdasarkan ketentuan Pasal 191 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, Badan Baitul Mal, mempunyai kewenangan untuk mengelola zakat,
waqaf dan harta agama.
Disamping itu adanya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (Perpu)
Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Masalah Hukum dalam rangka pelaksanaan
Rehabilitasi dan Rekontruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Aceh di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara yang mengatur tentang
Baitul Mal dan Perwalian serta tanah yang tidak diketahui pemiliknya.
Berdasarkan hal tersebut perlu dibentuk Qanun Baitul Mal agar tugas dan
wewenang Baitul Mal dapat dilaksanakan secara efektif.
B. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
30
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Bagi Gampong yang tidak memiliki meunasah maka ketua dijabat oleh
imuem mesjid setempat
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
ayat (1)
Yang dimaksud dengan perusahaan klasifikasi menengah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Cukup Jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
31
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Cukup Jelas
Pasal 23
Cukup Jelas
Pasal 24
Cukup Jelas
Pasal 25
Cukup Jelas
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup Jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup Jelas
Pasal 32
huruf a
Pengadministrasian meliputi antara lain: pendataan dan pensertifikatan
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup Jelas
32
Pasal 34
Harta agama selain zakat, antara lain infak, shadakah, hibah, wasiat, waris dan
kafarat, termasuk harta tanpa pemiliknya.
Pasal 35
Cukup Jelas
Pasal 36
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup Jelas
Pasal 38
Cukup Jelas
Pasal 39
Cukup Jelas
Pasal 40
Cukup Jelas
Pasal 41
Cukup Jelas
Pasal 42
Cukup Jelas
Pasal 43
Cukup Jelas
Pasal 44
Cukup Jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Penyidik yang dimaksud harus beragama Islam dan memahami hukum Islam
Pasal 46
Cukup Jelas
Pasal 47
Cukup Jelas
Pasal 48
Cukup Jelas
Pasal 49
Cukup Jelas
Pasal 50
Cukup Jelas
Pasal 51
Cukup Jelas
33
Pasal 52
Cukup Jelas
Pasal 53
Cukup Jelas
Pasal 54
Cukup Jelas
Pasal 55
Cukup Jelas
Pasal 56
Cukup Jelas
Pasal 57
Cukup Jelas
Pasal 58
Cukup Jelas
Pasal 59
Cukup Jelas
Pasal 60
Cukup Jelas
Pasal 61
Cukup Jelas
Pasal 62
Cukup Jelas
Pasal 63
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 10
QANUN ACEH
NOMOR 10 TAHUN 2007
TENTANG
BAITUL MAL
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Syariat Islam dan mengoptimalkan
pendayagunaan zakat, wakaf, dan harta agama sebagai potensi
ekonomi umat Islam, perlu dikelola secara optimal dan efektif oleh
sebuah lembaga profesional yang bertanggungjawab;
b. bahwa dalam kenyataannya, pengelolaan zakat, wakaf dan harta
agama lainnya telah lama dikenal dalam masyarakat Aceh, namun
pengelolaannya belum dapat secara optimal;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 180 ayat (1) huruf d, Pasal 191
dan Pasal 192 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, berkenaan dengan zakat, wakaf, dan harta
agama dikelola oleh Baitul Mal yang diatur dengan Qanun Aceh;
d. bahwa untuk maksud tersebut, perlu membentuk Qanun Aceh
tentang Baitul Mal.
Mengingat : 1. Al-Qur’an;
2. Al-Hadist;
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi
Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1103);
4. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
(Lembaran Negara Republik Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885);
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Atjeh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3893);
2
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109);
7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4280);
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor Tahun 2004 Nomor 4355);
9. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4548);
11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459);
12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4611,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611);
13. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633 );
14. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 105);
3
15. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum
dalam rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias di Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 119);
16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 89);
18. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 140);
19. Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5
Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
20. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002
tentang Peradilan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);
21. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002
tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar
Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun
2002 Nomor 54 Seri E Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5);
22. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 2 Tahun 2003
tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Kabupaten/Kota
dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 15 Seri D
Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 18);
4
23. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2003
tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Pemerintah
Kecamatan dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 16
Seri D Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 19);
24. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003
tentang Pemerintahan Gampong (Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 17 Seri D Nomor 7,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 21);
25. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan
Qanun (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007
Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
Tahun 2007 Nomor 03);
26. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah;
27. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 373 Tahun
2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH
dan
GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : QANUN ACEH TENTANG BAITUL MAL.
5
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1. Aceh adalah Daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
2. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.
3. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas
gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin
oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah Camat.
4. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah
Mukim dan dipimpin oleh Keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan
urusan rumah tangga sendiri.
5. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sesuai
dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
6. Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
7. Gubernur adalah Kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses
demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
6
8. Bupati/Walikota adalah kepala pemerintahan daerah kabupaten/kota yang dipilih
melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil.
9. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA) adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Aceh yang
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
10. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Dewan
Perwakilan Rakyat kabupaten/kota (DPRK) adalah unsur penyelenggara
pemerintahan kabupaten/kota yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
11. Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk
mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk
kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu
dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali
berdasarkan Syariat Islam.
12. Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disebut LAZ adalah institusi pengelola zakat
yang sudah ada atas prakarsa masyarakat dan didaftarkan pada Baitul Mal.
13. Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disebut UPZ adalah satuan organisasi yang
dibentuk oleh Baitul Mal Aceh dan Kabupaten/Kota dengan tugas mengumpulkan
zakat para muzakki pada instansi pemerintah dan lingkungan swasta.
14. Zakat adalah bagian dari harta yang wajib disisihkan oleh sorang muslim atau badan
(koorporasi) sesuai dengan ketentuan Syariat Islam untuk disalurkan kepada yang
berhak menerimanya dibawah pengelolaan Baitul Mal.
15. Zakat Fitrah adalah sejumlah bahan makanan pokok atau uang senilai harganya yang
dikeluarkan oleh setiap orang Islam untuk diri dan tanggungannya pada akhir
Ramadhan sesuai dengan ketentuan syari’at.
16. Zakat Maal adalah zakat yang dikenakan atas harta yang disisihkan oleh seorang
muslim atau badan yang dimilki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’at.
17. Muzakki adalah orang atau badan yang berkewajiban menunaikan zakat.
18. Mustahik adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat.
19. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariat yang
diwakafkan oleh wakif untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umat.
20. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
7
21. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
22. Harta Agama adalah sejumlah kekayaan umat Islam yang bersumber dari zakat,
infaq, shadaqah, wakaf, hibah, meusara, harta wasiat, harta warisan, dan lain-lain
yang diserahkan kepada Baitul Mal untuk di kelola dikembangkan sesuai dengan
ketentuan Syariat.
23. Pengelolaan Harta Agama adalah serangkaian kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pemeliharaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap penetapan,
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan oleh Baitul Mal.
24. Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota adalah
pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan
agama yang merupakan bagian dari sistem peradilan nasional.
25. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau badan sebagai
wakil dari anak atau sebagai pengampu dari orang yang tidak cakap untuk
melakukan suatu perbuatan hukum demi kepentingan dan atas nama anak atau
orang yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya tidak cakap melakukan
perbuatan hukum.
26. Wali adalah orang atau badan yang menjalankan kekuasaannya terhadap anak atau
orang yang tidak mempunyai orang tuanya lagi atau orang tua dan ianya tidak cakap
melakukan perbuatan hukum, baik untuk kepentingan pribadi, maupun harta
kekayaannya.
27. Harta yang tidak diketahui pemiliknya adalah harta yang meliputi harta tidak
bergerak, maupun harta bergerak, termasuk surat berharga, simpanan di bank, klaim
asuransi yang tidak diketahui lagi pemilik atau tidak ada lagi ahli warisnya.
28. Majelis Permusyawaratan Ulama selanjutnya disebut MPU adalah majelis yang
anggotanya terdiri atas ulama dan cendikiawan muslim yang merupakan mitra kerja
Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK baik pada tingkat
Provinsi, Kabupaten/Kota maupun Kecamatan.
29. Pembina Kecamatan adalah pihak yang berwewenang melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap Baitul Mal Kemukiman dan Baitul Mal Gampong atau nama
lain dalam Kecamatan tersebut.
30. Badan Usaha adalah suatu badan yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama
dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, koperasi, yayasan atau
organisasi yang sejenis, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya.
8
31. Kepala Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KAKUAKEC adalah Kepala
Urusan Agama di kecamatan yang merupakan aparat paling bawah dari Departemen
Agama Republik Indonesia.
32. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh, yang selanjutnya disebut Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah Provinsi Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh.
33. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, yang selanjutnya disebut
Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dengan Qanun
Kabupaten/Kota.
34. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala
satuan kerja pengelola keuangan daerah yang mempunyai tugas melaksanakan
pengelolaan APBA/APBK dan bertindak sebagai bendahara umum daerah.
35. Bendahara Umum Daerah, selanjutnya disingkat BUD adalah PPKD yang bertindak
dalam kapasitas sebagai bendahara umum daerah.
36. ‘Uqubat adalah ketentuan atau ancaman hukuman terhadap pelanggar jarimah ta’zir
yang berkenaan dengan zakat.
BAB II
PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI BAITUL MAL
Bagian Kesatu
Pembentukan Baitul Mal
Pasal 2
Dengan Qanun ini dibentuk Baitul Mal Aceh, Baitul Mal Kabupaten/Kota, Baitul Mal
Kemukiman dan Baitul Mal Gampong.
Pasal 3
(1) Baitul Mal Aceh adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam melaksanakan
tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan bertanggung
jawab kepada Gubernur.
(2) Baitul Mal Kabupaten/Kota adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam
melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan
bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.
9
(3) Baitul Mal Mukim adalah Lembaga Kemukiman Non Struktural yang dalam
melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan
bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(4) Baitul Mal Gampong adalah Lembaga Gampong Non Struktural yang dalam
melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan
bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi Baitul Mal Aceh
Pasal 4
(1) Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh terdiri atas Kepala, Sekretaris, Bendahara, Bidang
Pengawasan, Bidang Pengumpulan, Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan,
Bidang Sosialisasi dan Pengembangan dan Bidang Perwalian yang terdiri dari Sub
Bidang dan Sub Bagian.
(2) Jabatan Kepala, Wakil Kepala, Sekretaris, Bendahara, Kepala Subbag dan Kepala Sub
Bidang Baitul Mal Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
(3) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat/pimpinan badan Baitul Mal Aceh harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. bertaqwa kepada Allah SWT dan taat beribadah;
b. amanah, jujur dan bertanggungjawab;
c. memiliki kredibilitas dalam masyarakat;
d. mempunyai pengetahuan tentang zakat, waqaf, harta agama dan harta lainnya
serta manajemen;
e. memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan pengelolaan zakat, waqaf,
harta agama dan harta lainnya, dan
f. syarat-syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Sebelum diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur membentuk tim
independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan
terhadap calon-calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Aceh.
(5) Tata cara uji kelayakan dan kepatutan pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal
Aceh ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
10
(6) Calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Aceh, sebelum ditunjuk dan diangkat oleh
Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih dahulu harus mendapat
persetujuan Pimpinan DPRA, melalui telaahan Komisi terkait.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Susunan Organisasi Baitul Mal Kabupaten/Kota
Pasal 5
(1) Badan Pelaksana Baitul Mal Kabupaten/Kota terdiri atas Kepala, Sekretaris,
Bendahara, Bagian Pengumpulan, Bagian Pendistribusian dan Pendayagunaan, Bagian
Sosialisasi dan Pembinaan dan Bagian perwalian yang terdiri dari Sub Bagian dan
Seksi.
(2) Jabatan Kepala, Sekretaris, Bendahara dan Kepala Subbag dan Kepala Sub Bidang
Baitul Mal Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Bupati/Walikota.
(3) Pembinaan Baitul Mal Mukim dan Gampong atau nama lain dilaksanakan oleh Camat,
Kepala KUA Kecamatan dan Ketua MPU Kecamatan di bawah koordinasi Baitul Mal
kabupaten/Kota.
(4) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat/pimpinan badan Baitul Mal Kabupaten/Kota
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. bertaqwa kepada Allah SWT dan taat beribadah;
b. amanah, jujur dan bertanggung jawab;
c. memiliki kredibilitas dalam masyarakat;
d. mempunyai pengetahuan tentang zakat, waqaf, harta agama dan harta lainnya
serta manajemen;
e. memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan pengelolaan zakat, waqaf,
harta agama dan harta lainnya, dan
f. syarat-syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Sebelum diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati/Walikota membentuk
tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan
terhadap calon-calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Kabupaten/Kota.
11
(6) Tata cara uji kelayakan dan kepatutan pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal
Kabupaten/Kota ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.
(7) Calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Kabupaten/Kota, sebelum ditunjuk dan
diangkat oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih dahulu
harus mendapat persetujuan Pimpinan DPRK, melalui telaahan Komisi terkait.
(8) Ketentuan lebih lanjut tentang struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam peraturan Bupati/Walikota.
Bagian Keempat
Susunan Organisasi Baitul Mal Kemukiman
Pasal 6
(1) Pada tingkat kemukiman dapat dibentuk Badan Pelaksana Baitul Mal kemukiman.
(2) Badan Pelaksana Baitul Mal Kemukiman sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah
Lembaga Non Struktural terdiri atas Ketua yang karena jabatannya dilaksanakan
oleh Imuem Mesjid Kemukiman atau nama lain, Sekretaris, Bendahara, Seksi
Perwalian, Seksi Perencanaan dan Pendataan dan Seksi Pengawasan yang ditetapkan
oleh Imuem Mukim atau nama lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam peraturan Bupati/Walikota.
Bagian Kelima
Susunan Organisasi Baitul Mal Gampong
Pasal 7
(1) Badan Pelaksana Baitul Mal Gampong atau nama lain adalah Lembaga Non
Struktural, yang terdiri atas Ketua yang karena jabatannya dilaksanakan oleh Imuem
Meunasah atau Imuem Mesjid atau nama lain, Sekretaris, Bendahara, Urusan
Perwalian, Urusan Pengumpulan dan Urusan Penyaluran yang ditetapkan oleh
Keuchik atau nama lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam peraturan Bupati/Walikota.
12
BAB III
KEWENANGAN DAN KEWAJIBAN BAITUL MAL
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Kewenangan
Pasal 8
(1) Baitul Mal mempunyai fungsi dan kewenangan sebagai berikut:
a. mengurus dan mengelola zakat, wakaf, dan harta agama;
b. melakukan pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat;
c. melakukan sosialisasi zakat, wakaf dan harta agama lainnya;
d. menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali
pengawas terhadap wali nashab, dan wali pengampu terhadap orang dewasa
yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
e. menjadi pengelola terhadap harta yang tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya
berdasarkan putusan Mahkamah Syari’ah; dan
f. membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan
pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan prinsip saling menguntungkan.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
ketentuan syari’at dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
Dalam menjalankan kewenangannya yang berkaitan dengan syar’iat, Baitul Mal
berpedoman pada fatwa MPU Aceh.
Bagian Kedua
Kewenangan dan Kewajiban Baitul Mal Aceh
Pasal 10
(1) Baitul Mal Aceh sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 berwenang mengumpulkan,
mengelola dan menyalurkan :
a. Zakat Mal pada tingkat Provinsi meliputi : BUMN, BUMD Aceh dan Perusahaan
swasta besar;
b. Zakat Pendapatan dan Jasa/Honorium dari :
13
1. pejabat/PNS/TNI-POLRI, Karyawan Pemerintah Pusat yang berada di Ibukota
Provinsi;
2. pejabat/PNS/Karyawan lingkup Pemerintah Aceh;
3. pimpinan dan anggota DPRA;
4. karyawan BUMN/BUMD dan perusahan swasta besar pada tingkat Provinsi;
dan
5. ketua, anggota dan karyawan lembaga dan badan daerah tingkat provinsi.
c. Harta Agama dan harta waqaf yang berlingkup provinsi.
(2) Membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) yang ditetapkan dengan keputusan Baitul Mal Aceh.
(3) Meminta Laporan secara periodik setiap 6 (enam) bulan dari Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
(4) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan Baitul Mal Kabupaten/
Kota.
Pasal 11
(1) Menyampaikan laporan dan pertanggungjawaban secara periodik setiap 6 (enam)
bulan kepada Gubernur.
(2) Menginformasikan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
Bagian Kedua
Kewenangan dan Kewajiban Baitul Mal Kabupaten/Kota
Pasal 12
(1) Baitul Mal Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang
mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan :
a. zakat mal pada tingkat Kabupaten/Kota meliputi :
BUMD dan Badan Usaha yang berklasifikasi menengah.
b. zakat pendapatan dan jasa/ honorarium dari :
1. pejabat/PNS/TNI-POLRI, Karyawan Pemerintah Pusat/Pemerintah Aceh pada
tingkat Kabupaten/ Kota;
2. pejabat/PNS/Karyawan lingkup Pemerintah Kabupaten/Kota;
3. pimpinan dan Anggota DPRK; dan
14
4. karyawan BUMN/BUMD dan perusahaan swasta yang berada pada tingkat
Kabupaten/Kota.
c. Zakat sewa rumah/pertokoan yang terletak di Kabupaten/Kota.
d. Harta Agama dan harta waqaf yang berlingkup kabupaten/kota
(2) membentuk Unit Pengumpul Zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) yang ditetapkan dengan keputusan Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(3) Meminta Laporan secara periodik setiap 6 (enam) bulan dari Baitul Mal Kemukiman
dan Gampong atau nama lain.
(4) Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan Baitul Mal Kemukiman
dan Gampong atau nama lain.
Pasal 13
(1) Menyampaikan laporan dan pertanggungjawaban secara periodik setiap 6 (enam)
bulan kepada Bupati/Walikota.
(2) Menginformasikan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
Bagian Ketiga
Kewenangan dan Kewajiban Baitul Mal Kemukiman
Pasal 14
Baitul Mal Kemukiman mengelola dan mengembangkan harta agama dan harta waqaf
lingkup kemukiman.
Pasal 15
(1) Menyampaikan laporan dan pertanggungjawaban secara periodik setiap 6 (enam)
bulan kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(2) Menginformasikan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
Bagian Keempat
Kewenangan dan Kewajiban Baitul Mal Gampong atau nama lain
Pasal 16
(1) Baitul Mal Gampong atau nama lain berwenang mengelola, mengumpulkan dan
menyalurkan:
a. zakat fitrah di lingkup Gampong yang bersangkutan;
15
b. zakat hasil perdagangan/usaha kecil, hasil pertanian, hasil peternakan, hasil
perikanan dan hasil perkebunan dari masyarakat setempat;
c. zakat emas dan perak; dan
d. harta agama dan harta waqaf dalam lingkup Gampong atau nama lain.
(2) Menyelenggarakan tugas-tugas perwalian.
Pasal 17
(1) Menyampaikan laporan dan pertanggungjawaban secara periodik setiap 6 (enam)
bulan kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(2) Menginformasikan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
BAB IV
ZAKAT
Bagian Kesatu
Kewajiban Zakat
Pasal 18
(1) Zakat yang wajib dibayar terdiri atas zakat fitrah, zakat maal, dan zakat penghasilan.
(2) Jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah :
a. emas, perak, logam mulia lainnya dan uang;
b. perdagangan dan perusahaan;
c. perindustrian;
d. pertanian, perkebunan dan perikanan;
e. perternakan;
f. pertambangan;
g. pendapatan dan jasa; dan
e. rikaz.
(3) Jenis harta lain yang wajib dikeluarkan zakatnya diluar yang dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan berdasarkan fatwa MPU Aceh.
16
Pasal 19
(1) Perhitungan kadar, nishab dan waktu (haul) zakat mal ditetapkan sebagai berikut :
a. emas, perak, logam mulia dan uang yang telah mencapai nishab 94 gram emas
yang disimpan selama setahun, wajib zakatnya 2,5% pertahun;
b. harta perdagangan, perusahaan dan perindustrian yang telah mencapai nishab 94
gram emas pertahun, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5% dari jumlah
keuntungan;
c. hasil pertanian dan perkebunan yang telah mencapai nishab 5 wasaq (seukuran
6 gunca padi = 1.200 Kg padi), wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 5% untuk
setiap panen yang diolah secara intensif dan 10% untuk setiap panen yang diolah
secara tradisional;
d. hewan ternak kambing atau sejenisnya yang telah mencapai nishab 40 ekor,
wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak satu ekor pertahun;
e. hewan ternak sapi, kerbau atau sejenisnya yang telah mencapai nishab 30 ekor
wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak satu ekor pertahun;
f. barang tambang yang hasilnya mencapai nishab senilai 94 gram emas, wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5% untuk setiap produksi/temuan;
g. pendapatan dan jasa yang telah mencapai nishab senilai 94 gram emas setahun,
wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5%; dan
h. rikaz yang telah mencapai nishab senilai 94 gram emas, wajib dikeluarkanzakatnya
sebesar 20% untuk setiap temuan.
(2) Jumlah nishab dan kadar harta lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(3) ditetapkan oleh MPU Aceh.
(3) Pembayaran zakat pendapatan/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
dapat dicicil setiap bulan pada saat menerima pendapatan/jasa, apabila jumlah
pendapatan/jasa yang diterima setiap bulan telah mencapai 1/12 dari 94 gram emas
atau dibulatkan menjadi 7,84 gram emas.
Pasal 20
(1) Pengumpulan zakat dilakukan oleh Baitul Mal dengan cara menerima atau mengambil
dari muzakki berdasarkan pemberitahuan muzakki.
(2) Baitul Mal dapat bekerjasama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzakki
yang ada di bank berdasarkan permintaan muzakki.
17
Bagian Kedua
Muzakki
Pasal 21
(1) Setiap orang yang beragama Islam atau badan yang dimiliki oleh orang Islam dan
berdomisili dan/atau melakukan kegiatan usaha di Aceh yang memenuhi syarat
sebagai muzakki menunaikan zakat melalui Baitul Mal setempat.
(2) Setiap orang atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak memenuhi
syarat sebagai muzakki, dapat membayar infaq kepada Baitul Mal sesuai dengan
ketentuan syari’at.
Pasal 22
(1) Muzakki dapat melakukan perhitungan sendiri terhadap hartanya dan kewajiban
zakatnya berdasarkan ketentuan syari’at.
(2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), muzakki dapat meminta Baitul Mal untuk
menghitungnya.
Pasal 23
(1) Zakat selain zakat fitrah, yang dibayarkan kepada Baitul Mal menjadi faktor
pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak.
(2) Pembayaran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempergunakan
Bukti Pembayaran Zakat (BPZ) yang dikeluarkan Baitul Mal Aceh atau Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
(3) Bukti Pembayaran Zakat (BPZ) yang dapat diakui sebagai bukti pengurang jumlah
pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak, sekurang-kurangnya harus memuat :
a. nama lengkap wajib zakat/wajib pajak;
b. alamat jelas wajib zakat/wajib pajak;
c. nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ);
e. jenis penghasilan yang dibayar zakatnya;
f. sumber/jenis penghasilan dan bulan/tahun perolehannya;
g. besarnya penghasilan; dan
h. besarnya zakat atas penghasilan.
(4) Pemberian dan pengaturan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) ditetapkan oleh Kepala
Baitul Mal Aceh atau Baitul Mal Kabupaten/Kota.
18
BAB V
PENGELOLAAN ZAKAT
Bagian Kesatu
Pengelolaan Zakat Provinsi
Pasal 24
(1) Pembayaran zakat pendapatan/jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1)
huruf g dilakukan melalui tempat muzakki bekerja.
(2) Semua penerimaan zakat yang dikelola Baitul Mal Aceh merupakan sumber PAD Aceh
yang harus disetor ke Kas Umum Daerah Aceh.
(3) PAD Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disimpan dalam rekening tersendiri
Bendaharawaan Umum Daerah (BUD) Aceh yang ditunjuk Gubernur.
(4) Pengumpul dana hasil zakat disampaikan pada rekening tersendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dicairkan untuk kepentingan program dan
kegiatan yang diajukan oleh Kepala Baitul Mal Aceh sesuai dengan asnaf masingmasing.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran zakat oleh Muzakki dan
pencairan dana zakat oleh Baitul Mal Aceh dari Bendaharawaan Umum Daerah (BUD)
diatur dengan peraturan Gubernur.
Bagian Kedua
Pengelolaan Zakat Kabupaten/Kota
Pasal 25
(1) Pembayaran zakat pendapatan/jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1)
huruf g dilakukan melalui tempat muzakki bekerja.
(2) Semua penerimaan zakat yang dikelola Baitul Mal Kabupaten/Kota merupakan
sumber PAD Kabupaten/Kota yang harus disetor ke Kas Umum Daerah
Kabupaten/Kota.
(3) PAD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disimpan dalam rekening
tersendiri Bendaharawaan Umum Daerah (BUD) Kabupaten/Kota yang ditunjuk
Bupati/Walikota.
(4) Pengumpul dana hasil zakat disampaikan pada rekening tersendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dicairkan untuk kepentingan program dan
kegiatan yang diajukan oleh Kepala Baitul Mal Kabupaten/Kota sesuai dengan asnaf
masing-masing.
19
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran zakat oleh Muzakki dan
pencairan dana zakat oleh Baitul Mal Kabupaten/Kota dari Bendaharawaan Umum
Daerah (BUD) diatur dengan peraturan Bupati/Walikota.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Zakat Gampong atau nama lain
Pasal 26
(1) Penerimaan zakat fitrah diurus oleh Baitul Mal Gampong atau nama lain untuk
disalurkan kepada mustahik di lingkungan gampong atau nama lain tersebut sesuai
dengan ketentuan syariah.
(2) Zakat fitrah di gampong atau nama lain yang tidak habis dibagi karena terbatas
jumlah mustahik dapat dibagi kepada mustahik gampong atau nama lain terdekat.
Pasal 27
(1) Zakat mal yang diurus oleh Baitul Mal Gampong atau nama lain disalurkan kepada
mustahik sesuai dengan ketentuan syari’at.
(2) Pembina Kecamatan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan
operasional Baitul Mal Kemukiman dan gampong atau nama lainnya.
Pasal 28
Tata cara pengelolaan zakat oleh Baitul Mal Gampong atau nama lain diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota.
BAB VI
PENDAYAGUNAAN ZAKAT
Pasal 29
(1) Zakat didayagunakan untuk mustahik baik yang bersifat produktif maupun konsumtif
berdasarkan ketentuan syari’at.
(2) Mustahik zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. adanya suatu jenis usaha produktif yang layak;
b. bersedia menerima petugas pendamping yang berfungsi sebagai pembimbing/
penyuluh; dan
20
c. bersedia menyampaikan laporan usaha secara periodik setiap 6 (enam) bulan.
(3) Tata cara pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Baitul Mal Aceh.
BAB VII
HARTA WAKAF DAN HARTA AGAMA
Bagian Kesatu
Harta Wakaf
Pasal 30
Jenis harta wakaf yang dikelola oleh Baitul Mal meliputi benda tidak bergerak dan benda
bergerak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 31
(1) Baitul Mal pada setiap tingkatan dapat menjadi nazhir untuk menerima harta wakaf
dari wakif guna dikelola dan dikembangkan sesuai dengan ketentuan syari’at.
(2) Penyerahan harta wakaf oleh wakif kepada Baitul Mal sesuai dengan ketentuan
syari’at dan peraturan perundang-undangan.
(3) Harta wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di kelola oleh Baitul Mal untuk
meningkatkan fungsi, potensi dan manfaat ekonomi harta wakaf tersebut guna
kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umat.
Pasal 32
Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) mempunyai tugas :
a. melakukan pengadministrasian harta wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf;
c. mengawasi dan melindungi harta wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugasnya secara berjenjang; dan
e. melaporkan pelaksanaannya kepada Gubernur, atau Bupati/Walikota dengan tembusan
kepada Kepala Badan Wakaf Indonesia.
21
Pasal 33
(1) Untuk membiayai pelaksanaan tugas pengelolaan harta wakaf sebagaimana dimaksud
dalam pasal 31 ayat (3), nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas
pengelolaan dan pengembangan harta wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%
(sepuluh persen).
(2) Nazhir Provinsi dan Kabupaten/Kota yang telah mendapat gaji/upah karena
jabatannya sebagai pengelola Baitul Mal dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Harta Agama
Pasal 34
Baitul Mal dapat menerima harta agama untuk dikelola sesuai dengan ketentuan Syari’at.
Pasal 35
(1) Penggunaan harta agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 diutamakan untuk
kepentingan ibadah dan kesejahteraan umat.
(2) Penggunaan harta agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
transparans dan akuntabel.
Bagian Ketiga
Harta Yang Tidak Diketahui Pemiliknya
Pasal 36
(1) Harta yang tidak diketahui pemiliknya, berada di bawah pengawasan dan pengelolaan
Baitul Mal Kabupaten/Kota berdasarkan penetapan Mahkamah Syar’iyah.
(2) Baitul Mal Kabupaten/Kota mengajukan permohonan kepada Mahkamah Syar’iyah
untuk ditetapkan sebagai pengelola harta yang tidak diketahui pemiliknya.
(3) Baitul Mal sebagai pengelola harta yang tidak diketahui pemiliknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak boleh mengalihkan harta tersebut kepada pihak lain.
Pasal 37
(1) Dalam hal pemilik dan/atau ahli waris dari harta yang tidak diketahui pemiliknya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 diketahui kembali, yang bersangkutan dapat
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Syar’iyah untuk dikembalikan haknya.
22
(2) Dalam hal Mahkamah Syari’ah mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Baitul Mal wajib segera mengembalikan harta tersebut kepada pemilik
atau ahli warisnya.
Pasal 38
(1) Baitul Mal sebagai pengelola harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
berhak atas biaya pengelolaan paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari hasil
pengelolaan yang ditetapkan oleh Kepala Baitul Mal.
(2) Harta yang tidak diketahui pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
penggunaannya diutamakan untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umat.
BAB VIII
PERWALIAN
Pasal 39
(1) Dalam hal orang tua anak atau wali nasab telah meninggal atau tidak cakap
melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau
keberadaannya maka Baitul Mal dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang
bersangkutan.
(2) Wali sebagaimana dimaksud ayat (1) mengasuh dan mengelola harta kekayaan anak
sesuai peraturan perundang-undangan.
(3) Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Mahkamah
Syar’iyah.
Pasal 40
(1) Orang yang tidak cakap bertindak menurut hukum yang orang tuanya atau wali nasab
telah meninggal atau tidak cakap bertindak menurut hukum, maka yang bersangkutan
dan harta kekayaannya dapat diurus oleh Baitul Mal sebagai wali pengampu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal tidak ada orang yang menjadi wali pengampu maka Baitul Mal sebagai wali
pengawas mengajukan permohonan penetapan sebagai wali pengampu kepada
Mahkamah Syar’iyah.
Pasal 41
(1) Dalam hal telah dilakukan penetapan wali sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat
(1) dan Pasal 40 ayat (2) Baitul Mal menjadi Wali Pengawas.
23
(2) Dalam hal wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menjalankan tugas
sebagaimana mestinya, Baitul Mal sebagai Wali Pengawas dapat mengajukan
permohonan sebagai wali pengganti.
(3) Permohonan penggantian wali sebagimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh
Baitul Mal kepada Mahkamah Syar’iyah setempat.
Pasal 42
(1) Dalam menjalankan tugasnya sebagai wali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (1) dan Pasal 41 ayat (2), Baitul Mal wajib:
a. mengurus anak atau orang yang di bawah pengasuhan/pengampuannya dan
harta bendanya dengan sebaik-baiknya;
b. membuat daftar harta kekayaan anak atau orang sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang harta kekayaannya berada dibawah kekuasaannya pada waktu
memulai jabatannya serta mencatat semua perubahan-perubahan; dan
c. bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaiannya.
(2) Untuk membiayai pengelolaan harta kekayaan dan pengasuhan anak atau orang tidak
cakap yang menjadi tanggungjawabnya, Baitul Mal dapat mengambil biaya dari hasil
harta tersebut dalam jumlah wajar yang ditetapkan oleh kepala Baitul Mal setempat.
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 43
(1) Biaya operasional Baitul Mal Aceh dibebankan pada APBA dan sumber lain yang tidak
mengikat.
(2) Biaya operasional Baitul Mal Kabupaten/Kota dibebankan pada APBK dan sumber lain
yang tidak mengikat.
(3) Biaya operasional Baitul Mal Kemukiman dan Baitul Mal Gampong atau nama lain
dibebankan pada senif amil zakat, dan/atau hasil pengelolaan harta agama yang
berada dibawah pengelolannya.
Pasal 44
Semua pembiayaan Baitul Mal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 harus dikelola dan
dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
24
BAB X
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 45
(1) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran pengelolaan zakat dan harta
agama dilakukan oleh penyidik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. penyidik POLRI yang diberi wewenang penyidikan di bidang Syari’at Islam;
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Pasal 46
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2) huruf a berwenang :
a. menerima laporan pelanggaran atau pengaduan;
b. melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian;
c. memanggil orang/ badan untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
d. melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mendatangkan ahli apabila diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
g. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah dan memberitahukan hal
tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan pelapor; dan
h. mengadakan tindakan lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat (2) huruf b dalam melaksanakan
kewenangannya berada dibawah koordinasi penyidik sebagaimana dimaksud pasal 45
ayat (2) huruf a.
(3) Dalam melakukan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik
wajib menjunjung tinggi prinsip-prinsip Syariat Islam, adat-istiadat dan hukum adat
yang berlaku.
25
Pasal 47
Penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan tentang pelanggaran terhadap
Qanun ini, wajib segera melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 48
Penuntut umum, menuntut perkara jarimah zakat dan harta agama yang terjadi dalam
daerah hukumnya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
Penuntut umum mempunyai kewenangan :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;
b. memberi petunjuk kepada penyidik untuk penyempurnaan apabila ada kekurangan
pada penyidikan;
c. membuat surat dakwaan;
d. melimpahkan perkara ke Mahkamah Syari’ah;
e. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa dan keluarganya tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun saksi untuk datang pada sidang mahkamah yang telah
ditentukan;
f. melakukan penuntutan;
g. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sabagai penuntut
umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. melaksanakan putusan hakim.
BAB XI
KETENTUAN ‘UQUBAT
Pasal 50
Setiap orang Islam atau Badan yang melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (1), dihukum
karena melakukan jarimah ta’zir dengan ‘uqubat, berupa :
a. denda paling sedikit satu kali nilai zakat yang wajib dibayarkan, paling banyak dua kali
nilai zakat yang wajib dibayarkan; dan
b. kewajiban membayar seluruh biaya yang diperlukan sehubungan dengan audit
khusus.
26
Pasal 51
Barang siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan surat Baitul Mal yang dapat
mengakibatkan gugurnya kewajiban membayar zakat, dihukum karena pemalsuan surat
dengan ‘uqubat ta’zir, berupa denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah),
paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama tiga
bulan atau paling singkat satu bulan.
Pasal 52
Barang siapa yang melakukan, turut melakukan atau membantu melakukan penggelapan
zakat, atau harta agama lainnya yang seharusnya diserahkan pengelolaannya kepada
Baitul Mal, dihukum karena penggelapan, dengan ‘uqubat ta’zir berupa cambuk di depan
umum paling sedikit satu kali, paling banyak tiga kali, dan denda paling sedikit satu kali,
paling banyak dua kali, dari nilai zakat, wakaf, atau harta agama lainnya yang digelapkan.
Pasal 53
Petugas Baitul Mal yang melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal
30 ayat (1) dan Pasal 33 dihukum karena melakukan jarimah penyelewengan pengelolaan
zakat dan harta agama dengan ‘uqubat ta’zir hukuman denda paling sedikit Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah), paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) atau
hukuman kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan
membayar kembali kepada Baitul Mal senilai zakat atau harta agama yang diselewengkan.
Pasal 54
Dalam hal jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 dan Pasal
53 dilakukan oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) ‘uqubatnya
dijatuhkan kepada pimpinan atau pengurus badan tersebut sesuai dengan tanggung
jawabnya.
BAB XII
PELAKSANAAN ‘UQUBAT
Pasal 55
(1) ‘Uqubat ta’zir yang telah ditetapkan dalam putusan Mahkamah Syar’iyah dilaksanakan
oleh jaksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan
hukum tetap.
27
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 56
(1) Lembaga Amil Zakat atau Badan Pengumpul Zakat lainnya yang telah ada pada saat
qanun ini disahkan dapat melakukan kegiatannya setelah mendaftar pada Baitul Mal
Aceh atau Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(2) Dalam melaksanakan kegiatannya Lembaga Amil Zakat atau Badan Pengumpul Zakat
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan koordinasi dan
melaporkan setiap kegiatannya kepada Baitul Mal Aceh atau Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
(3) Lembaga Amil Zakat atau Badan Pengumpul Zakat lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihentikan kegiatannya paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 57
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diatur lebih lanjut dengan keputusan
Badan Baitul Mal Aceh.
Pasal 58
(1) Nazhir waqaf yang telah ada pada saat qanun ini disahkan dapat melanjutkan
pengelolaan harta agama setelah mendaftar pada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(2) Dalam melaksanakan kegiatannya Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melakukan koordinasi dan melaporkan setiap kegiatannya kepada Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
Pasal 59
Semua lembaga yang mengurus zakat, wakaf, dan harta agama yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 57 dan Pasal 58 dilarang melakukan
kegiatan dan semua aset dialihkan menjadi aset Baitul Mal.
Pasal 60
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai zakat, waqaf dan harta
agama sejauh tidak diatur dan tidak bertentangan dengan Qanun ini dinyatakan tetap
berlaku.
28
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pengelolaan zakat, harta wakaf, dan harta
agama lainnya diatur dengan:
a. Peraturan Gubernur untuk lingkup Provinsi Aceh;
b. Peraturan Bupati/Walikota untuk lingkup Kabupaten/Kota, Kemukiman dan Gampong
atau nama lain.
Pasal 62
Pada saat Qanun ini mulai berlaku, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7
Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Tahun 2004 Nomor Seri B Nomor 4) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 63
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Aceh.
Disahkan di Banda Aceh
pada tanggal 17 Januari 2008 M
8 Muharam 1429 H
GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
IRWANDI YUSUF
Diundangkan di Banda Aceh
pada tanggal 18 Januari 2008 M
9 Muharam 1429 H
SEKRETARIS DAERAH ACEH,
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
HUSNI BAHRI TOB
LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2007 NOMOR 10
29
PENJELASAN ATAS
QANUN ACEH
NOMOR 10 TAHUN 2007
TENTANG
BAITUL MAL
A. UMUM
Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh berdasarkan Undang-undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh telah
mendorong Pemerintah Aceh untuk membentuk lembaga-lembaga yang didasarkan pada
ketentuan hukum Islam yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Aceh. Salah satu
lembaga tersebut adalah Baitul Mal. Lembaga ini sangat strategis dan penting
keberadaannya dalam rangka mengoptimalkan pendayagunaan zakat, waqaf dan harta
agama sebagai potensi ekonomi umat Islam yang perlu dikelola secara efektif oleh sebuah
lembaga profesional yang bertanggung jawab.
Berdasarkan ketentuan Pasal 191 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, Badan Baitul Mal, mempunyai kewenangan untuk mengelola zakat,
waqaf dan harta agama.
Disamping itu adanya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (Perpu)
Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Masalah Hukum dalam rangka pelaksanaan
Rehabilitasi dan Rekontruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Aceh di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara yang mengatur tentang
Baitul Mal dan Perwalian serta tanah yang tidak diketahui pemiliknya.
Berdasarkan hal tersebut perlu dibentuk Qanun Baitul Mal agar tugas dan
wewenang Baitul Mal dapat dilaksanakan secara efektif.
B. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
30
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Bagi Gampong yang tidak memiliki meunasah maka ketua dijabat oleh
imuem mesjid setempat
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
ayat (1)
Yang dimaksud dengan perusahaan klasifikasi menengah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Cukup Jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
31
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Cukup Jelas
Pasal 23
Cukup Jelas
Pasal 24
Cukup Jelas
Pasal 25
Cukup Jelas
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup Jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup Jelas
Pasal 32
huruf a
Pengadministrasian meliputi antara lain: pendataan dan pensertifikatan
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup Jelas
32
Pasal 34
Harta agama selain zakat, antara lain infak, shadakah, hibah, wasiat, waris dan
kafarat, termasuk harta tanpa pemiliknya.
Pasal 35
Cukup Jelas
Pasal 36
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup Jelas
Pasal 38
Cukup Jelas
Pasal 39
Cukup Jelas
Pasal 40
Cukup Jelas
Pasal 41
Cukup Jelas
Pasal 42
Cukup Jelas
Pasal 43
Cukup Jelas
Pasal 44
Cukup Jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Penyidik yang dimaksud harus beragama Islam dan memahami hukum Islam
Pasal 46
Cukup Jelas
Pasal 47
Cukup Jelas
Pasal 48
Cukup Jelas
Pasal 49
Cukup Jelas
Pasal 50
Cukup Jelas
Pasal 51
Cukup Jelas
33
Pasal 52
Cukup Jelas
Pasal 53
Cukup Jelas
Pasal 54
Cukup Jelas
Pasal 55
Cukup Jelas
Pasal 56
Cukup Jelas
Pasal 57
Cukup Jelas
Pasal 58
Cukup Jelas
Pasal 59
Cukup Jelas
Pasal 60
Cukup Jelas
Pasal 61
Cukup Jelas
Pasal 62
Cukup Jelas
Pasal 63
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 10
Langganan:
Postingan (Atom)