Armiadi - Opini
“Dakwa dakwi” tentang pemungutan zakat gaji atas pegawai negeri sipil (PNS) terus terjadi. Di Pidie Jaya seperti dilansir hari ini ketika kasus seorang guru SMAN 1 Meuredu dengan wakil Bupati Pidie Jaya, M Yusuf Ibrahim. Ujungnya, si guru dimutasi ke wilayah udik di Jiem Jiem (Serambi, 28/01/2010). Masalahnya, ini jarang dibahas bagaimana zakat gaji menurut hukum fiqih.
Dalam kasus di Pidie Jaya, sang guru menolak membayar zakat gaji dengan dalih bahwa itu, harus ada satu ijtihad baru ulama. Namun MPU Pidie Jaya, menurutnya tidak memenuhi syarat untuk melakukan itu. Memang kasus itu sebagai masalah ijtihadi. Tentu kita tidak perlu repot untuk membahasnya karena sudah tunta dikaji. Apalagi hanya bertujuan untuk membantah dan mencari dalil denga pendapat pribadi, lalu meminta pihak lain untuk berijtihad.
Merujuk pada berbagai sumber fiqh, hukum zakat gaji atau jasa, penghasilan, profesi tidak bergeser dari dua macam pandangan ulama, yaitu antara wajib dan tidak wajib. Masing-masing golongan ulama memberi argumentasi yang berbeda. Jika ditelusuri yang menjadi punca perbedaan pendapat pada zakat gaji, profesi, jasa atau penghasilan antara lain adalah pada syarat haul, apakah diqiyaskan kepada zakat emas atau diqiyaskan kepada zakat pertanian atau diqiyaskan kepada keduanya.
Para ulama mazhab bukan menolak adanya zakat gaji juga bukan membolehkan untuk dipungut. Hanya saja tak pernah membahasnya secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Masalahya karea hal itu belum menjadi sumber penghasilan utama dan sektor rill ketika itu. Para ulama mazhab lebih cenderung membahas sumber-sumber zakat yang disebut secara eksplisit di dalam nash, baik Alquran maupun hadis. Sumber zakat dimaksud, disebut zakat ittifaq. Artinya sumber zakat yang disepakati dan tak ada satupun ulama yang berselisih pendapat tentangnya. Mereka mencoba memahami dengan berbagai metode istimbath (menyimpulkan hukum, red).yang dikaitkan dengan kondisi sosio-ekonomi masa itu.
Sebagian ulama sekarang yang tidak mewajibkan zakat gaji atau profesi. Alasanny, tidak pernah dipraktikkan pada masa Rasulullah atau masa-masa awal pemerintahan Islam dan tidak ditemukan nash yang sharih secara khusus. Namun pandangan ulama ini jarang ditemukan dalam literatur-literatur fiqh. Sebaliknya pandangan sebagian ulama yang lain lebih cenderung mewajibkan zakat gaji/profesi dalam karya-karya mereka dengan melakukan berbagai cara istimbath. Untuk memperjelas status hukum tentang zakat gaji, penghasilan, profesi tersebut rasanya perlu kita rujuk kepada berbagai sumber baik klasik maupun kontemporer.
Sumber hukumnya
Berdasarkan nash umum (ummumul ayyah). Firman Allah swt (Q.S, Al- Baqarah: 267, dan al-Zariyat: 19), dapat dipahami oleh sebagian ulama sebagai zakat dari berbagai sumber penghasilan. Pemahaman melalui umumul ayyah atau dengan cara ma’qul al-makna (mencari substansi makna), seperti ini menjadi salah satu pola istimbath hukum yang dilakukan oleh mazhab Hanafi. Pola ini dilakukan oleh para ulama tafsir. Di antaranya pandangan Sayyid Qutub, tentang ayat 267 surat al-Baqarah, Zakat diwajibkan dari semua jenis pendapatan (Tafsir Fi Dhilalil Qur’an),. Demikian juga Al-Qurtubi, tentang haqqum ma’lum dalam surat al-zariat ayat 19 diartikan sebagai zakat dari semua penghasilan, (Tafsir al-Jami’ liahkamil Qur’an).
Landasan zakat profesi dianalogikan kepada dua sifat qiyas. Pertama tentang waktu pembayaran diqiyaskan kepada zakat pertanian yaitu dibayarkan ketika mendapatkan hasilnya (panen). Kedua nishab dan kadar zakatnya dianalogikan kepada zakat emas yaitu seharga 94 gram emas sedangkan kadar zakatnya sebesar 2,5 persen (qaedah qiyas al-syabah : Didin Hafidzudin, Sumber Zakat Dalam Perekonomian Modern).
Menurut Yusuf Qardhawi, penghasilan gaji disebut sebagai mal-mustafad’. Seperti gaji pegawai, upah buruh, penghasilan dokter, pengacara, pemborong dan penghasilan modal di luar perdagangan, penghasilan profesi dan lainnya, wajib dikenakan zakat dan tidak disyaratkan sampai setahun, akan tetapi dizakati pada waktu menerima pendapatan tersebut. Dari berbagai pendapat yang dikumpulkan Qardhawi, pendapat yang rajih (kuat) menurut beliau adalah: ‘Wajib zakat gaji, penghasilan, profesi atau jasa ketika saat diterima tanpa memerlukan syarat haul. Ini berdasarkan kepada pendapat sebagian sahabat terutama Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Mu’awiyah, sebagian tabi’in seperti Hasan Basri dan Umar Bin Abdul Aziz (Qardhawi : Fiqh Zakat).
Wahbah Zuhaily, dalam al-Fiqh al-Islamy wa’adillatuh, menyebutkan zakat gaji termasuk dalam jenis al- mal al-mustafat. Sedangkan Ibnu Qayyim, mengaitkannya pada harta kekayaan yang berbazis aktivitas ekonomi. Sumber kontemporer lainnya adalah Fatwa Ulama Dunia dari hasil Muktamar I tentang Zakat di Kuwait, 20 Rajab 1404/30 April 1984, salah satu keputusan tersebut adalah ‘Mewajibkan Zakat gaji/profesi.
Sebagian ulama memandang zakat gaji/perofesi dalam tiga hal. Pertama, tidak ada dalil zakat profesi, tetapi dianjurkan untuk menunaikannya. Kedua, wajib zakat profesi, dengan alasan untuk maslahah masyarakat. Ketiga, wajib zakat profesi, alasan nash Alquran (ummumul ayyah) dan ijtihad ulama. Jadi, dapat dipahami bahwa zakat, dikenakan atas suatu harta berdasarkan kepada dua kaidah. Pertama, berdasarkan nash qath’i dari Alquran dan hadis, sebagai sumber ittifaq, jelas dan terang). Kedua, tidak ada nash yang jelas, maka digunakan qaedah Qiyas, misalnya gaji/penghasilan diqiyaskan kepada emas,perak sebagai pendapatan dalam bentuk uang.
Adapun kaidah dari nash didasarkan pada prinsip-prinsip; (1) Memiliki kekayaan di atas nisab’, dalam hal ini untuk nishab zakat gaji adalah di atas 94 gram emas; (2) Al-nama’, dimana harta yang berkembang atau memiliki potensi untuk berkembang dan uang diangap memiliki potensi untuk berkembang; dan (3) Prinsip menguntungkan fakir miskin. Ini bila terdapat dua sebab illat wajib zakatatau terdapat perselihan ulama tentang wajib zakat maka mana yang lebih menguntungkan fakir-miskin yang dipilih.
Di Indonesia, pemungutan zakat gaji/penghasilan diatur dalam Undang-undang Nomor 38/1999, tentang Pengelolaan Zakat. Turunannya adalah Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 /1999, tentang Pelaksanaan UU. No. 38/1999, dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Haji, No. D/291/2000, tentang Pedoman Teknis pengelolaan Zakat.
Khusus untuk Aceh, selain undang-undang yang berlaku secara nasional, Aceh memiliki sejumlah peraturan dalam bentuk qanun, peraturan Gubernur, bahkan setingkat undang-undang, di antaranya Keputusan Gubernur NAD No. 18/2003, tentang Tata kerja Badan Baitul Mal NAD, Qanun No. 7/2004, Tentang Pengelolaan Zakat di Aceh, diganti dengan Qanun no. 10/2007, tentang Baitul Mal, Peraturan Gubernur No.60/2008, Tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat, Instruksi Gubernur No. 06/2008, Tentang Pemungutan zakat penghasilan dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), Karyawan di lingkungan pemerintah, Instruksi Gubernur Provinsi NAD No. 12/2005 tentang Pemotongan Zakat Gaji dan Honorarium bagi setiap PNS dan pejabat di lingkungan pemerintah Aceh bahkan pasal 191-192 Undang-Undang No. 11/2005, Tentang Pemerintahan Aceh.
Fatwa ulama Aceh
Fatwa ulama (MUI) Aceh tentang wajibnya zakat dari sektor jasa atau gaji diputuskan dalam rapat komisi B (fatwa/hukum), nomor 01/1998, hari jumat tanggal 2 Rabi’ul awal 1419 H/26 Juni 1998 M). Antara lain disebutkan, pembayaran/pemungutan zakat gaji tersebut dianjurkan pada setiap kali memperoleh penghasilan sebagai ta’jil/taq.sith.
MUI Daerah Istimewa Aceh sebelumnya telah mengeluarkan sejumlah fatwa tentang zakat, yaitu: Fatwa tahun 1974 tentang zakat pertanian, fatwa tahun 1978 tentang dan 1981 tentang zakat jasa, fatwa tahun 1983 sebagai penyempurnaan fatwa tahun 1978, fatwa tahun 1983 tentang teknik pengumpulan dan pendayagunaan zakat, fatwa tahun 1994 tentang penyempurnaan nishab zakat jasa dan cara pembayarannya dan fatwa tahun 1994 tentang dasar perhitungan nishab zakat jasa. Sumber hukumnya sudah jelas, lalu kenapa kita harus berdakwa-dakwi? Sebuah adagium fiqh mengatakan ‘hukmul hakim yarfa’ul khilaf’ artinya keputusan pemerintah itu dapat menghilangkan perbedaan pendapat yang ada.
* Penulis adalah dosen pada IAIN Ar-Raniry.
Kantor Pengurusan Zakat,Infaq dan shadaqah (ZIS) Kab. Aceh Selatan
Jumat, 16 April 2010
Yang Berhak Mendapatkan Zakat
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (At-Taubah : 103)
Ayat diatas adalah perintah kepada kita untuk menunaikan zakat, yang juga merupakan rukun islam yang ke 4. lalu siapakah yang berhak mendapatkan zakat ?
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."(At-Taubah : 60)
Darri ayat diatas jelaslah bahwa yang berhak mendapatkan zakat adalah :
1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus zakat : orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Ayat diatas adalah perintah kepada kita untuk menunaikan zakat, yang juga merupakan rukun islam yang ke 4. lalu siapakah yang berhak mendapatkan zakat ?
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."(At-Taubah : 60)
Darri ayat diatas jelaslah bahwa yang berhak mendapatkan zakat adalah :
1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus zakat : orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Kemiskinan Akan Teratasi Bila Zakat Dioptimalkan
Friday, 05 October 2007 10:00
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar menegaskan, masalah kemiskinan yang mendera
umat Islam di Aceh sebagai akibat tsunami dan konflik berkepanjangan, akan mampu teratasi jika saja potensi zakat, harta wakaf dan harga agama dapat dihimpun secara optimal, sesuai amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Banda Aceh,
WASPADA Online Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar menegaskan, masalah kemiskinan yang menderaumat Islam di Aceh sebagai akibat tsunami dan konflik berkepanjangan, akan mampu teratasi jika saja potensi zakat, harta wakaf dan harga agama dapat dihimpun secara optimal, sesuai amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Penegasan itu disampaikan Wakil Gubernur pada sosialisasi kesadaran zakat dengan
organisasi profesi dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dilanjutkan dengan buka puasa bersama di pendopo Wakil Gubernur Aceh, Rabu (3/10).
Disebutkan, kegiatan zakat, infaq dan sadaqah di dalam Islam yang telah diberikan oleh Allah SWT adalah untuk mengentaskan kemiskinan dan membangkitkan solidaritas serta kedermawanan di muka bumi ini, khususnya terhadap ummat Islam sendiri. Selain itu, zakat juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengantisipasi krisis kemiskinan.
"Apabila semua orang kaya, semua pengusaha dan saudagar muslim termasuk di Aceh
misalnya, mau membayar zakat maka ini akan memiliki potensi yang luar biasa. Apalagi
pengusaha muslim yang berasal dari luar Aceh tetapi melakukan usaha di Aceh dan mau
membayar zakat di Aceh, saya kira ini akan sangat baik dan ini memang harus
dilakukan," ujarnya menjawab pertanyaan Waspada.
Kaitannya dengan perpajakan, menurut Muhammad Nazar, untuk Aceh nantinya dapat dibuat peraturan sebagaimana UUPA bahwa zakat—khususnya untuk pengusaha muslim—dapat
menjadi faktor pengurangan pajak. "Kita mengharapkan budaya dan tradisi membayar
zakat serta mewakafkan harta, tradisi melakukan infak dan sadaqah supaya terus tumbuh di kalangan masyarakat Aceh, karena semua itu adalah untuk mensucikan harta yang kita
miliki," pintanya.
Sementara Rektor IAIN Ar Raniry H Yusni Saby yang ditemui Waspada di tempat yang sama menyebutkan, sosialisasi yang dilakukan pada hari itu akan menambah kesadaran masyarakat di Aceh untuk membayar zakat, karena selama ini yang dianggap objek zakat adalah petani padi. Namun sekarang, para ulama telah mengembangkan tidak hanya petani padi, tetapi juga petani cengkeh, petani pala dan sebagainya.
"Sekarang pedagang, pedagang sebenarnya mereka itu membayar zakat. Hanya saja
selama ini mereka membayarnya sendiri-sendiri atau membaginya sendiri-sendiri. Ke depan kita berharap ini tidak seperti itu lagi, zakat para pedagang ini dikutip dan didistribusikan oleh
lembaga," ujarnya.
Menurut H Yusni Sabi, ada dua potensi dalam hal membayar zakat. Pertama mensucikan
harta si pembayar zakat dan kedua dari zakat itu akan lahir kesejahteraan. "Zakat
1 / 2
Kemiskinan Akan Teratasi Bila Zakat Dioptimalkan Friday, 05 October 2007 10:00 dikonsumtif boleh, tetapi sebahagian saja, sebahagian lagi digunakan untuk pertumbuhan.
Dengan semakin banyak saudagar kita (Aceh) membayar zakat, maka idealnya kemiskinan
akan berkurang.
Mudah-mudahan ini bisa dicapai dan bisa direalisir oleh para saudagar kita," tambahnya.
Sementara Ketua Kadinda Aceh H Firmandez mengungkapkan, pranata zakat secara
operasional telah ada seperti Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2004 tentang Zakat, namun perlu disosialisasikan kepada para pelaku bisnis di Aceh. Hal ini dimaksudkan agar pengumpulan zakat secara tersistem dalam kelembagaan resmi dan terjamin akuntabilitas publik secara syariah.
Menyangkut kerjasama Kadin Aceh dengan Baitul Mal Aceh dalam hal pengumpulan zakat
dari para pengusaha atau anggota organisasi itu, H Firmandez mengatakan, di masing-masing kantor Kadin di Aceh nanti akan ada Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang akn bertugas mengumpulkan zakat dari anggota dan menyerahkan kepada Baitul Mal setempat.
Kepala Baitul Mal Aceh Amrullah dalam laporannya menyebutkan, program kerja sama Baitul Mal dengan para pengusaha yang tergabung dalam organisasi Kadin Aceh telah dirintis sejak 2003 dengan mengadakan 'Malam Sayang Duafa'. Kegiatan itu semakin mengkristal dua tahun lalu, berupa kesepakatan untuk membayar infak sebesar setengah persen dari setiap rekanan Pemda yang mempunyai tagihan di atas Rp20 juta.
Kesepakatan itu tertuang dalam Ingub Aceh Nomor 13/2005 tentang Pemotongan Infak dari Perusahaan yang Mendapat Pekerjaan dari Pemda.
Dijelaskan, hasil pengumpulan dana infak dari para rekanan Pemprov Aceh pada Tahun 2005 berjumlah Rp. 1.033.011.000 dan Tahun 2006 senilai Rp2.547.439.000. Sedang Tahun 2007 belum dibukukan.
Dari jumlah tersebut, Rp1,4 miliar di antaranya telah dikeluarkan untuk pengadaan empat hektare tanah berlokasi di Jalan Banda Aceh-Krueng Raya, Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, untuk pembangunan tempat pengasuhan anak korban tsunami/korban
konflik Aceh.
Selain itu, Rp150 juta untuk pembuatan topography, penetapan batas, biaya surat-surat tanah
dan ganti rugi untuk tanah wakaf seluar satu hektare. Sedangkan hasil pengumpulan zakat oleh
Baitul Mal Aceh pada tahun 2004 berjumlah Rp1,3 miliar, tahun 2005 Rp1,3 miliar, tahun 2006
Rp2,1 miliar dan tahun 2007 sampai dengan Agustus Rp1,2 miliar.
"Jumlah zakat tersebut hampir seluruhnya sudah disalurkan kepada mustahik yang
ditetapkan Dewan Syariah untuk setiap tahunnya," kata Amrullah.
Pada sosialisasi kesadaran zakat dengan organisasi profesi dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang dilanjutkan dengan buka puasa bersama, turut sejumlah anggota DPR Aceh
dan pengurus Kadinda serta pengusaha Aceh itu, juga dilakukan penandatanganan MoU
pengumpulan zakat antara kepala Baitul Mal Aceh dengan Ketua Kadin Aceh. (b09)
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar menegaskan, masalah kemiskinan yang mendera
umat Islam di Aceh sebagai akibat tsunami dan konflik berkepanjangan, akan mampu teratasi jika saja potensi zakat, harta wakaf dan harga agama dapat dihimpun secara optimal, sesuai amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Banda Aceh,
WASPADA Online Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar menegaskan, masalah kemiskinan yang menderaumat Islam di Aceh sebagai akibat tsunami dan konflik berkepanjangan, akan mampu teratasi jika saja potensi zakat, harta wakaf dan harga agama dapat dihimpun secara optimal, sesuai amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Penegasan itu disampaikan Wakil Gubernur pada sosialisasi kesadaran zakat dengan
organisasi profesi dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dilanjutkan dengan buka puasa bersama di pendopo Wakil Gubernur Aceh, Rabu (3/10).
Disebutkan, kegiatan zakat, infaq dan sadaqah di dalam Islam yang telah diberikan oleh Allah SWT adalah untuk mengentaskan kemiskinan dan membangkitkan solidaritas serta kedermawanan di muka bumi ini, khususnya terhadap ummat Islam sendiri. Selain itu, zakat juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengantisipasi krisis kemiskinan.
"Apabila semua orang kaya, semua pengusaha dan saudagar muslim termasuk di Aceh
misalnya, mau membayar zakat maka ini akan memiliki potensi yang luar biasa. Apalagi
pengusaha muslim yang berasal dari luar Aceh tetapi melakukan usaha di Aceh dan mau
membayar zakat di Aceh, saya kira ini akan sangat baik dan ini memang harus
dilakukan," ujarnya menjawab pertanyaan Waspada.
Kaitannya dengan perpajakan, menurut Muhammad Nazar, untuk Aceh nantinya dapat dibuat peraturan sebagaimana UUPA bahwa zakat—khususnya untuk pengusaha muslim—dapat
menjadi faktor pengurangan pajak. "Kita mengharapkan budaya dan tradisi membayar
zakat serta mewakafkan harta, tradisi melakukan infak dan sadaqah supaya terus tumbuh di kalangan masyarakat Aceh, karena semua itu adalah untuk mensucikan harta yang kita
miliki," pintanya.
Sementara Rektor IAIN Ar Raniry H Yusni Saby yang ditemui Waspada di tempat yang sama menyebutkan, sosialisasi yang dilakukan pada hari itu akan menambah kesadaran masyarakat di Aceh untuk membayar zakat, karena selama ini yang dianggap objek zakat adalah petani padi. Namun sekarang, para ulama telah mengembangkan tidak hanya petani padi, tetapi juga petani cengkeh, petani pala dan sebagainya.
"Sekarang pedagang, pedagang sebenarnya mereka itu membayar zakat. Hanya saja
selama ini mereka membayarnya sendiri-sendiri atau membaginya sendiri-sendiri. Ke depan kita berharap ini tidak seperti itu lagi, zakat para pedagang ini dikutip dan didistribusikan oleh
lembaga," ujarnya.
Menurut H Yusni Sabi, ada dua potensi dalam hal membayar zakat. Pertama mensucikan
harta si pembayar zakat dan kedua dari zakat itu akan lahir kesejahteraan. "Zakat
1 / 2
Kemiskinan Akan Teratasi Bila Zakat Dioptimalkan Friday, 05 October 2007 10:00 dikonsumtif boleh, tetapi sebahagian saja, sebahagian lagi digunakan untuk pertumbuhan.
Dengan semakin banyak saudagar kita (Aceh) membayar zakat, maka idealnya kemiskinan
akan berkurang.
Mudah-mudahan ini bisa dicapai dan bisa direalisir oleh para saudagar kita," tambahnya.
Sementara Ketua Kadinda Aceh H Firmandez mengungkapkan, pranata zakat secara
operasional telah ada seperti Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2004 tentang Zakat, namun perlu disosialisasikan kepada para pelaku bisnis di Aceh. Hal ini dimaksudkan agar pengumpulan zakat secara tersistem dalam kelembagaan resmi dan terjamin akuntabilitas publik secara syariah.
Menyangkut kerjasama Kadin Aceh dengan Baitul Mal Aceh dalam hal pengumpulan zakat
dari para pengusaha atau anggota organisasi itu, H Firmandez mengatakan, di masing-masing kantor Kadin di Aceh nanti akan ada Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang akn bertugas mengumpulkan zakat dari anggota dan menyerahkan kepada Baitul Mal setempat.
Kepala Baitul Mal Aceh Amrullah dalam laporannya menyebutkan, program kerja sama Baitul Mal dengan para pengusaha yang tergabung dalam organisasi Kadin Aceh telah dirintis sejak 2003 dengan mengadakan 'Malam Sayang Duafa'. Kegiatan itu semakin mengkristal dua tahun lalu, berupa kesepakatan untuk membayar infak sebesar setengah persen dari setiap rekanan Pemda yang mempunyai tagihan di atas Rp20 juta.
Kesepakatan itu tertuang dalam Ingub Aceh Nomor 13/2005 tentang Pemotongan Infak dari Perusahaan yang Mendapat Pekerjaan dari Pemda.
Dijelaskan, hasil pengumpulan dana infak dari para rekanan Pemprov Aceh pada Tahun 2005 berjumlah Rp. 1.033.011.000 dan Tahun 2006 senilai Rp2.547.439.000. Sedang Tahun 2007 belum dibukukan.
Dari jumlah tersebut, Rp1,4 miliar di antaranya telah dikeluarkan untuk pengadaan empat hektare tanah berlokasi di Jalan Banda Aceh-Krueng Raya, Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, untuk pembangunan tempat pengasuhan anak korban tsunami/korban
konflik Aceh.
Selain itu, Rp150 juta untuk pembuatan topography, penetapan batas, biaya surat-surat tanah
dan ganti rugi untuk tanah wakaf seluar satu hektare. Sedangkan hasil pengumpulan zakat oleh
Baitul Mal Aceh pada tahun 2004 berjumlah Rp1,3 miliar, tahun 2005 Rp1,3 miliar, tahun 2006
Rp2,1 miliar dan tahun 2007 sampai dengan Agustus Rp1,2 miliar.
"Jumlah zakat tersebut hampir seluruhnya sudah disalurkan kepada mustahik yang
ditetapkan Dewan Syariah untuk setiap tahunnya," kata Amrullah.
Pada sosialisasi kesadaran zakat dengan organisasi profesi dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang dilanjutkan dengan buka puasa bersama, turut sejumlah anggota DPR Aceh
dan pengurus Kadinda serta pengusaha Aceh itu, juga dilakukan penandatanganan MoU
pengumpulan zakat antara kepala Baitul Mal Aceh dengan Ketua Kadin Aceh. (b09)
Langganan:
Postingan (Atom)