Zakat Dalam Perspektif UU Pemerintahahn Aceh
Oleh, Amrullah
Sebelum Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau yang lebih dikenal dengan istilah UUPA lahir, zakat telah mendapat tempat yang khsuus dalam pemerintahan Aceh. Hal ini erat kaitannya dengan keberadaan UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang tersebut telah melahirkan antara lain Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, dimana Baitul Mal merupakan salah satu dari 13 bidang pelaksanaan Syariat Islam.
Selanjutnya, dalam Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan peranan Baitul Mal sebagai Lembaga Daerah yang berwenang melakukan pengelolaan zakat, dan harta agama lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun ini dicabut dengan Qanun No 10/2007 tentang Baitul Mal.
Pembentukan Baitul Mal dilakukan dengan Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 18 Tahun 2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Karena kekhusussan tersebut, maka lingkup Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) di Aceh yang disebut dengan Baitul Mal agak sedikit berbeda dengan BAZDA yang diatur dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Menteri Agama RI No. 373/2003 tentang Pelaksanaan UU No. 38/1999, dimana BAZDA berada pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan.
Sedangkan pembentukan Baitul Mal dilakukan pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Gampong (bukan Kecamatan). Hal ini erat kaitannya dengan sejarah panjang pengelolaan zakat dan harta agama lainnya yang dilakukan di Gampong (desa) sejak zaman Sultan Iskandar Muda, karena pemerintahan Gampong dinilai mempunyai akses yang langsung dengan masyarakat.
Selanjutnya, dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, zakat mendapat peran dan posisi yang sangat istimewa dalam Pemerintahan Aceh, dibandingkan dengan Pemerintah daerah lain yang diatur dengan UU No. 32/2004.
Ada tiga hal menarik menyangkut "perzakatan" yang diatur dalam Undang-Undang No. 11/2006, yaitu:
1. a. Pasal 180 ayat (1) huruf d
"Zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/Kota". (Sumber PAD lain adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan hasil penyertaan modal serta lain-lain PAD Aceh dan PAD Kabupaten/Kota yang sah).
1. b. Pasal 191
"Zakat, harta wakaf dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota yang diatur dengan Qanun".
1. c. Pasal 192
"Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak pengahasilan (PPh) terhutang dari wajib pajak".
Ketentuan tersebut lebih lanjut diatur dengan Qanun No 10/2007 tentang Baitul Mal, yang tidak hanya mengatur tentang masalah perzakatan, tetapi lebih luas sesuai dengan tuntutan perkembangan terakhir di Aceh, termasuk masalah perwalian dan pengelolaan harta/tanah yang tidak ada pemiliknya lagi pasca tsunami. Masalah yag terakhir ini merupakan amanah dari UU No 48/2007 tentang Pengesahan Perpu No 2/2007 tentang Penyelesaian Masalah Hukum Pasca Tsunami di Aceh dan Nias, dimana dalam UU tersebut tersebut antara lain disebutkan tentang kewenangan Baitul Mal utuk menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim/yatim piatu yang tidak ada walinya lagi, serta menjadi pengelola terhadap harta/hak yang tidak ada pemiliknya lagi akibat tsunami.
Pembahasan Qanun tentang Baitul Mal sebagai usul inisiatif DPR Aceh telah dilakukan dengan sangat berhati-hati, guna menghindari terjadinya benturan dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi. Sebagai contoh dapat kami sebutkan:
1). Zakat sebagai salah satu sumber PAD
Apabila zakat sudah dinyatakan sebagai sumber PAD, maka zakat tersebut harus disetor ke Kas Daerah dan penyaluranya harus tunduk kepada aturan-aturan yang mengatur tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, (Permendagri No. 13/2006). Dengan ketentuan zakat sebagai PAD, maka konsekuensi logisnya harus dipergunakan untuk membiayai anggaran belanja daerah sebagaimana PAD lainnya. Padahal penyaluran uang zakat sudah diatur sedemikian rupa dalam Alquran dan Al-Hadist untuk dibagi kepada asnaf-asnaf yang berhak (mustahik). Untuk menjembatani agar kedua ketentuan tersebut tidak terjadi benturan, maka penyetoran zakat ke Kas Daerah sebagai PAD harus diatur sedemikian rupa dengan menempatkannya dalam rekening khusus pada Bank Syariah, sehingga tidak bercampur dengan PAD lain. Sedangkan penyalurannya disesuaikan dengan ketentuan syariah untuk asnaf-asnaf yang telah ditetapkan.
2). Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal
Dalam Undang-Undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat telah diatur sedemikian rupa tentang bagaimana pengelolaan zakat termasuk organisasinya seperti BAZDA. Sedangkan dalam UU No. 11/2006 organisasi pengelola zakat, harta wakaf dan harta agama adalah Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota.
- Demikian juga halnya dengan harta wakaf yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 41/2004 tentang wakaf yang hanya membuka celah kepada Baitul Mal sebagai salah satu lembaga untuk menjadi nadzir sebagaimana nadhir lainnya/bukan satu-satunya.
3). Zakat sebagai faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang
Dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat yang berlaku secara nasional, disebutkan pembayaran zakat hanya dapat mengurangi "jumlah penghasilan kena pajak" (taxes deductable) yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Ditjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003, sedangkan dalam UU No. 11/2006, pembayaran pajak dapat mengurangi "pajak penghasilan" terhutang (taxes-crediet). Ketentuan ini belum diatur oleh Ditjen Pajak, sehingga pelaksanaannya belum dapat diperlakukan secara serta merta, perlu kita ketahui, dalam hukum pajak sudah diatur sedemikian rupa bagaimana tata cara memasukkan SPT tahunan untuk mendapatkan kompensasi pembayaran pajak penghasilan termasuk restitusi pajak.
Adanya ketentuan yang dimuat dalam pasal 192 UU No. 11/2006 yang menyatakan zakat sebagai faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang, dan hanya berlaku di Aceh, adalah merupakan suatu kemajuan yang luar biasa bagi umat Islam Aceh. Ketentuan tersebut sudah diperjuangkan oleh beberapa organisasi Islam secara nasional dalam waktu yang cukup lama, tetapi pemerintah belum dapat menyetujuinya. Ini berarti pembayaran zakat di Aceh, diakui setingkat dengan pajak, karena kedua-duanya merupakan sumber pendapatan daerah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam porsi yang berbeda. Ketentuan ini sudah lama berlaku di Malaysia.
CONTOH SIMULASI PERHITUNGAN
1). Taxes deductable :
1. - Jumlah Penghasilan setahun Rp. 200.000.000,-
2. - Pembayaran zakat 2,5 % Rp. 5.000.000,-
Jumlah Penghasilan kena Pajak Rp. 195.000.000,-
1. - Pajak Penghasilan 10% Rp. 19.500.000,-
2). Taxes crediets :
1. - Jumlah Penghasilan setahun Rp. 200.000.000,-
2. - Pembayaran zakat 2,5 % Rp. 5.000.000,-
3. - Pajak penghasilan 10% x Rp. 200 juta Rp. 20.000.000,-
4. - Potong pembayaran zakat Rp. 5.000.000,-
5. - Sisa pajak penghasilan terhutang Rp. 15.000.000,-
Ini berarti umat Islam di Aceh mendapat keringanan pajak penghasilan sebesar Rp. 4,5 juta dari penghasilan Rp. 200.000.000,- (taxes deductable Rp. 19.500.000 - taxes crediet Rp. 15.000.000).
Catatan: contoh simulasi diatas tidak persis demikian, karena ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan Tahunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kritik & saran