SELAMAT DATANG di BAITUL MAL KABUPATEN ACEH SELATAN. Sekretariat Pengurusan Zakat, Infaq & Shadaqah ( ZIS ) Se - Kabupaten Aceh selatan

Rabu, 15 September 2010

Seputar Makna Zakat

Dari segi bahasa, arti zakat adalah suci, berkembang, berkah, tumbuh, bersih dan baik. Semua arti tersebut digunakan dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Secara umum dari segi fiqihnya, zakat berarti “sejumlah tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak” disamping berarti “mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”.



Sebagai rukun Islam yang bersifat ibadah dan sosial, kewajiban zakat sering digandengkan dengan kewajiban shalat. Zakat adalah salah satu jenis pungutan yang Islami atas kekayaan seseorang, ia dikumpulkan dari orang-orang kaya dan digunakan untuk orang miskin.

Selain para iman mazhab yang empat, Yusuf Al Qardawi (ahli fiqih dari Mesir) mengemukakan definisi zakat adalah “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah menyerahkan kepada orang-orang yang berhak”.

Pemakaian kata zakat dalam berbagai ayat Al Qur’an juga menggunakan lafadz As-Shadaqah (sedekah)dengan makna zakat, seperti dalam Surat At Taubah (9) ayat 58, 60 dan 103. Di dalam hadits Rasulullah Saw dijumpai juga lafadz As Shadaqah yang berarti zakat, di antaranya hadits: “kurang dari lima wasaq (750 kg) tidak dikenai shadaqah/sedekah (zakat)...” (HR. Bukhari dan Muslim) dan “beritahulah mereka bahwa Allah mewajibkan sedekah (zakat) yang diambilkan dari harta orang-orang kaya...” (HR. Bukhari dan Muslim)
Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan oleh agama, dan disalurkan kepada orang–orang yang telah ditentukan pula, yaitu delapan golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 :

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Zakat dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna :
Pertama, zakat bermakna At-Thohuru, yang artinya membersihkan atau mensucikan. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu menunaikan zakat karena Allah dan bukan karena ingin dipuji manusia, Allah akan membersihkan dan mensucikan baik hartanya maupun jiwanya. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah ayat 103:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kedua, zakat bermakna Al-Barakatu, yang artinya berkah. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu membayar zakat, hartanya akan selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah SWT, kemudian keberkahan harta ini akan berdampak kepada keberkahan hidup. Keberkahan ini lahir karena harta yang kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih, sebab harta kita telah dibersihkan dari kotoran dengan menunaikan zakat yang hakekatnya zakat itu sendiri berfungsi untuk membersihkan dan mensucikan harta.

Ketiga, zakat bermakna An-Numuw, yang artinya tumbuh dan berkembang. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya (dengan izin Allah) akan selalu terus tumbuh dan berkembang. Hal ini disebabkan oleh kesucian dan keberkahan harta yang telah ditunaikan kewajiban zakatnya. Tentu kita tidak pernah mendengar orang yang selalu menunaikan zakat dengan ikhlas karena Allah, kemudian banyak mengalami masalah dalam harta dan usahanya, baik itu kebangkrutan, kehancuran, kerugian usaha, dan lain sebagainya. Tentu kita tidak pernah mendengar hal seperti itu, yang ada bahkan sebaliknya.

Selama ini, belum menemukan orang –orang yang rutin menunaikan zakat kemudian berhenti dari menunaikan zakat disebabkan usahanya bangkrut atau ekonominya bermasalah, bahkan yang ada adalah orang–orang yang selalu menunaikan zakat, jumlah nominal zakat yang dikeluarkannya dari waktu ke waktu semakin bertambah besar, itulah bukti bahwa zakat sebenarnya tidak mengurangi harta kita, bahkan sebaliknya. Memang secara logika manusia, dengan membayar zakat maka harta kita akan berkurang, misalnya jika kita mempunyai penghasilan Rp. 2.000.000,- maka zakat yang kita keluarkan adalah 2,5 % dari Rp. 2.000.000,- yaitu Rp 50.000,-. Jika kita melihat menurut logika manusia, harta yang pada mulanya berjumlah Rp.2.000.000,- kemudian dikeluarkan Rp. 50.000,- maka harta kita menjadi Rp. 1.950.000,- yang berarti jumlah harta kita berkurang. Tapi, menurut ilmu Allah yang Maha Pemberi rizki, zakat yang kita keluarkan tidak mengurangi harta kita, bahkan menambah harta kita dengan berlipat ganda. Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 39 :

Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandakan.

Dalam ayat ini Allah berfirman tentang zakat yang sebelumnya didahului dengan firman tentang riba. Dengan ayat ini Allah Maha Pemberi Rizki menegaskan bahwa riba tidak akan pernah melipat gandakan harta manusia, yang sebenarnya dapat melipat gandakannya adalah dengan menunaikan zakat.

Keempat, zakat bermakna As-Sholahu, yang artinya beres atau keberesan, yaitu bahwa orang orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya akan selalu beres dan jauh dari masalah. Orang yang dalam hartanya selalu ditimpa musibah atau masalah, misalnya kebangkrutan, kecurian, kerampokan, hilang, dan lain sebagainya boleh jadi karena mereka selalu melalaikan zakat yang merupakan kewajiban mereka dan hak fakir miskin beserta golongan lainnya yang telah Allah sebutkan dalam Al – Qur’an.

PEMBANGUNAN EKONOMI UMAT BERBASIS ZAKAT

Pendahuluan

Adanya perbedaan penghidupan dan kehidupan antara seseorang atau satu kelompok dengan orang atau kelompok lain, sesungguhnya merupakan suatu sunnatullah (aturan Allah) yang bersifat pasti dan tetap, kapan dan dimanapun. Kaya dan miskin akan selalu ada, sama halnya seperti adanya siang dan malam, sehat dan sakit, tua dan muda serta lain sebagainya. Allah SWT berfirman dalam QS.       Az-Zukhruf [43] ayat 32.

Namun perbedaan tersebut, bukanlah untuk dipertentangkan apalagi sampai melahirkan pertentangan antar kelas, akan tetapi untuk disillaturrahimkan dan dipertemukan dalam bingkai ta'awun/tolong menolong, bantu membantu, saling mendukung dan saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya. Betul, orang miskin membutuhkan orang kaya, akan tetapi juga orang kaya membutuhkan orang miskin dan kaum dhuafa lainnya (QS. Al-An'am [6]: 165).

Berwala/tolong-menolong dan bersinergi antara sesama orang-orang yang beriman akan melahirkan kekuatan, sekaligus mengundang rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah [9] ayat 71.

Rasulullah SAW mengilustrasikan hubungan yang satu dengan yang lainnya ibarat satu bangunan yang saling mengokohkan atau ibarat satu tubuh yang jika satu anggautanya sakit, maka anggauta tubuh yang lainnya akan merasakan sakit juga (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibn Hibban).
Rasulullah SAW pun menggambarkan bahwa setiap kelompok umat memiliki ciri khusus dan kebaikan masing-masing yang apabila dipadukan akan melahirkan sebuah kekuatan (HR. Imam ad-Daelamiey).
Betapa besar perhatian ajaran Islam terhadap kaum dhuafa bisa dilihat dari berbagai aturan, terutama yang berkaitan dengan harta (al-Maal). Berikut ini dikemukakan beberapa contoh.

Pertama, zakat diutamakan untuk kesejahteraan fakir miskin yang merupakan mustahiq utama (QS. At-Taubah [9]: 60).

Kedua, infaq dan shadaqah (di luar zakat) salah satu fungsinya untuk mensejahterakan fakir-miskin, disamping untuk kerabat, ibn sabil maupun anak yatim. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 177, 215, 273, dan QS. Al-Isra' [17] ayat 26-27.

Ketiga, pembayaran fidyah bagi yang tidak mampu berpuasa diberikan untuk orang-orang miskin (QS. Al-Baqarah [2]: 184).

Keempat, salah satu alternatif kifarat sumpah adalah memberikan makanan atau pakaian untuk fakir miskin (QS. Al-Maidah [5]: 89).

Kelima, memperhatikan fakir miskin dianggap sebagai "al-Aqobah" (menaiki tangga yang berat), yang mengundang nilai dan pahala yang besar dari Allah SWT (QS. Al-Balad [90]: 11-16).

Keenam, bahkan ajaran Islam menumbuhkan dan membangkitkan semangat kaum dhuafa yang sewaktu-waktu menjadi pemimpin dan pewaris kepemimpinan di muka bumi (QS. Al-Qashash [28]: 5).

Sebaliknya, tidak memperhatikan mereka, malalui program-program dan aksi-aksi yang konkrit, dianggap sama dengan mendustakan agama (QS. Al-Ma'un [107]: 1-3).
Al-Qur'an pun mengingatkan, bahwa salah satu penyebab terjadinya kegelisahan hidup, adalah karena tidak memperhatikan dan tidak saling mengajak untuk menolong orang-orang miskin. Perhatikan firman Allah SWT dalam QS. Al-Fajr [89] ayat 15-20.

Problematika Kemiskinan Di Indonesia

Sungguh suatu idea dan gagasan yang cemerlang, yang dilandasi oleh ajaran Islam yang kuat seperti dikemukakan di atas, para pendiri bangsa ini (the founding fathers) telah memposisikan negara sebagai penanggung jawab utama terhadap penanggulangan masalah kemiskinan. Hal ini sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dikemukakan dalam UUD 1945 pasal 28, bahwa bahwa orang-orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Landasan ideologi inilah yang mendorong pemerintah dengan berbagai macam programnya melalui berbagai departemen, dengan dana yang cukup besar, melakukan kegiatan penanggulangan kemiskinan, baik bantuan secara langsung maupun melalui kegiatan penguatan sektor riil, sejak zaman kemerdekaan sampai dengan sekarang.

Sebagai contoh, dapat dikemukakan disini penjelasan dari Dr. Bambang Widianto, Deputi MENNEG PPN/KA BAPPENAS Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah, bahwa berbagai macam program dan langkah yang dilakukan oleh Bapennas/pemerintah sebagai prioritas penanggulangan kemiskinan (Jakarta, 11 Agustus 2006) antara lain sebagai berikut:
  1. Prioritas Penanggulangan Kemiskinan
    1. Mendorong Pertumbuhan yang Berkualitas, meliputi:
    • Pertumbuhan yang menciptakan kesempatan kerja yang memadai
    • Industri padat pekerja
    • Perdagangan dan ekspor
    • Usaha mikro, kecil dan menengah
    1. Meningkatkan Akses Masyarakat Miskin ke Pelayanan Dasar, meliputi:
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Infrastruktur dasar
    • Pangan dan gizi
    1. Pemberdayaan Masyarakat Miskin, meliputi:
    • Pembangunan berbasis masyarakat Ekonomi, sosial dan lingkungan
    • Memberikan lapangan kerja
    1. Memperbaiki Sistem Perlindungan Sosial
    • Bantuan sosial
    • Jaminan sosial
    • Menjajaki pelaksanaan SLT (santunan langsung tunai) bersyarat
  2. Bantuan Tunai Bersyarat, yang memiliki beberapa tujuan, antara lain:
    • Mengurangi kemiskinan
    • Meningkatkan human capital:
      • Kesehatan dan nutrisi
      • Pendidikan
    • Mengurangi pekerja anak
  3. Skema Bantuan Tunai
    • Ditargetkan pada rumah tangga miskin dan dekat miskin
    • Bersyarat:
      • Di bawah usia 7 tahun >> Kesehatan
      • 7 - 15 tahun >> Pendidikan
      • Ibu >> Kesehatan berkaitan dengan ibu hamil
    • Tidak ada persyaratan untuk penggunaan uang
  4. Potensi Pemberian BTB (bantuan tunai bersyarat)
    • Memberikan income effect kepada rumah tangga Miskin >> Mengurangi kemiskinan dan kesenjangan.
    • Memberikan price effect terhadap human capital dari si anak >> Meningkatkan kapasitas pendapatan dari si anak di masa depan.
    • Memberikan kepastian kepada si anak akan masa depannya >> Insurance effect - child human capital.
    • Pemberdayaan dan peningkatan akuntabilitas kepada mereka yang miskin.
Demikian pula, kegiatan penanggulangan kemiskinan yang oleh masyarakat, malalui berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah banyak dilakukan. Akan tetapi - walaupun sudah banyak kegiatan yang dilakukan - kemiskinan ternyata masih menjadi permasalahan terbesar bangsa ini. Pasca krisis sampai saat ini, pemulihan ekonomi berjalan lambat. Akibatnya, kemiskinan dan juga pengangguran masih tinggi dan meluas. Pelaksanaan otonomi daerah secara sejak 1 januari 2001 juga belum banyak membantu. Kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan setempat, belum mampu membuat pemerintah daerah menangani masalah kemiskinan secara cepat dan efektif.

Pasca krisis, jumlah penduduk miskin Indonesia masih besar dan tersebar luas. Di tahun 2004 BPS memperkirakan jumlah orang miskin adalah 36,1 juta orang atau 16,6% dari total penduduk. Pada saat yang sama perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa angka kemiskinan tahun 2004 hanya 7,4% dengan garis kemiskinan US$1 sehari, maka jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi US$2 sehari, maka angka kemiskinan melonjak menjadi 53,4% atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini ekuivalen dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.

Sementara itu angka pengangguran juga menunjukkan angka yang sangat tinggi. Mengacu pada data Badan Pusat Statiska (Sakernas) pada tahun 2000, jumlah pengangguran setengah terbuka mencapai sekitar 30 juta jiwa. Angka ini tidak banyak mengalami perubahan walaupun ada trend penurunan, yaitu sekitar 28,8 juta pengangguran pada tahun 2002, dan pada tahun 2004 masih di kisaran 28 juta jiwa (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di kota dan di desa, antara lain sebagai berikut:

TAHUN
KOTA
DESA
TOTAL
2000
12,30
26,40
38,70
2001
8,60
29,30
37,90
2002
13,30
25,10
38,40
2003
12,20
25,10
37,30
2004
11,40
24,80
36,10
2005
12,40
22,70
35,10
2006
14,49
24,81
39,30
2007
13,56
23,61
37,17
Sumber BPS, 2007
Menurut SUSENAS, bahwa anak putus sekolah berjumlah 7,5 juta dan gizi buruk balita 27,5 persen. Sementara itu, UNICEF mencatat gizi buruk sebanyak 40 persen dan busung lapar 8 persen = 1,6 juta jiwa.

Lemahnya usaha memerangi kemiskinan di era otonomi daerah juga dikonfirmasi oleh berbagai studi empiris. Studi jasmina et. Al (2001) menunjukkan bahwa baru 268 daerah yang telah menerapkan kebijakan pembelanjaan anggaran yang bersifat pro-poor (berpihak pada orang miskin). Sementara itu studi Sumarto et. Al (2002) menunjukkan bahwa tata kelola pemerintah yang semakin memburuk di era otonomi daerah, secara nyata dan sistematik telah menghambat upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).

Kondisi ini sesungguhnya merupakan potret dari kemiskinan structural. Artinya, kemiskinan yang ada tidak hanya disebabkan oleh lemahnya etos kerja, melainkan terutama disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan model saat ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang dimiliki oleh kelompok the have kepada the poor. Diperlukan sebuah sistem yang mampu menciptakan Keadilan di mana kemandirian ekonomi dapat menciptakan peluang kerja yang mampu menggerakkan sector riil sehingga secara otomatis kemiskinan juga dapat teratasi.

Pengembangan sekotr riil menjadi agenda yang sangat penting, mengingat hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan komparatif suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan produktivitas suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan sector riil-nya di dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat. Menurut aturan islam, mekanisme peran pemerintah dalam menggerakkan sector riil dalam upayanya melindungi masyarakat miskin di implementasikan dalam kebijakan dengan zakat sebagai sebagai instrument utama. Sejarah membuktikan Zakat sebagai sebuah sistem fiscal mampu menjaga kestabilan perekonomian, dapat melindungi si lemah dari ketidakadilan jalannya sistem perekonomian (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).

Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits riwayat Imam al-Ashbahani dari Imam Thabrani, menyatakan: "Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih" (HR. Thabrani dalam Al Ausath dan Ash Shoghir).

Hadits tersebut memberikan dua isyarat. Pertama, kemiskinan bukanlah semata-mata disebabkan oleh kemalasan untuk bekerja (kemiskinan kultural), akan tetapi juga akibat dari pola kehidupan yang tidak adil (kemiskinan struktural) dan merosotnya kesetiakawanan sosial, terutama antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Lapoe dan Colin, serta George dalam Hafidhuddin (1998) menyatakan bahwa penyebab utama kemiskinan adalah ketimpangan sosial ekonomi akibat adanya sekelompok kecil orang yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak, dan bukannya disebabkan oleh semata-mata kelebihan jumlah penduduk (over population). 

Kedua, jika zakat, infak, dan sedekah dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan dikelola dengan baik, apakah dalam aspek pengumpulan ataupun dalam aspek pendistribusian, kemiskinan dan kefakiran ini akan dapat ditanggulangi, paling tidak dapat diperkecil (Hafidhuddin, 1998). 

Dalam Al-Quran dan Hadis, zakat, infaq dan sedekah di samping sering digandengkan dengan salat, juga digandengkan dengan kegiatan riba, misalnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 276 dan QS. Ar-Rum [30]: 39. Hal ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi ZIS akan memperkecil kegiatan ekonomi yang bersifat ribawi.

Zakat: Instrumen Penanggulangan Kemiskinan

Di tengah problematika perekonomian ini, zakat muncul menjadi instrument yang solutif dan sustainable. Zakat sebagai instrument pembangunan perekonomian dan pengetasan kemiskinan umat di daerah, memiliki banyak keunggulan dibandingkan intrumen fiscal konvensional yang kini telah ada (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).

Pertama, penggunaan zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syariat (QS. At Taubah [9]: 60) di mana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan saja (ashnaf) yaitu : orang-orang fakir, miskin, amil. Mu'allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha sepalat bahwa selain 8 golongan ini, tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak pun yang berhak mengganti atau merubah ketentuan ini. Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor. Tak ada satupun instrument fiskal konvensional yang memiliki karakteristik unik seperti ini. Karena itu zakat akan lebih efektif mengentaskan kemiskinan karena alokasi dana yang sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran. Instrumen yang langsung berkaitan dengan kebutuhan bagi fakir-miskin hanyalah zakat.

Kedua, zakat memiliki prosentase yang rendah dan tetap serta tidak pernah berubah-ubah karena sudah diatur dalam syarat sebagai misal, zakat yang diterapkan pada basis yang luas seperti zakat perdagangan, tarifnya hanya 2,5%, ketentuan tarif zakat ini tidak boleh diganti atau diubah oleh siapapun. Karena itu penerapan zakat tidak akan mengganggu insentif investasi dan akan menciptakan transparansi kebijakan public serta memberikan kepastian usaha.

Ketiga, zakat memiliki prosentase berbeda, dan mengizinkan keringanan bagi usaha yang memiliki tingkat kesulitan produksi lebih tinggi. Sebagai misal, zakat untuk produk pertanian yang dihasilkan dari lahan irigasi tariff-nya adalah 5% sedangkan jika dihasilkan dari lahan tadah hujan tariff-nya 10%. Karakteristik ini membuat zakat bersifat market-friendly sehingga tidak akan mengganggu iklim usaha.

Keempat, zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan peliharaan, simpanan emas dan perak, aktivitas perniagaan komersial, dan barang-barang tambang yang diambil dari perut bumi. Fiqh kontemporer bahkan memandang bahwa zakat juga diambil dari seluruh pendapatan yang dihasilkan dari asset atau kehlian pekerja. Dengan demikian, potensi zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program pengentasan kemiskinan (QS. Al-Baqarah [2]: 267 dan QS. Adz-Dzariyat [51]: 19).

Sayyid Quthub (w. 1965 M) dalam tafsirnya "Fi Dzilali al-Qur'an" ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 267 menyatakan, bahwa nash ini mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dari dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian, maupun hasil pertambangan seperti minyak. Karena itu, nash ini mencakup semua harta, baik yang terdapat di zaman Rasulullah Saw. maupun di zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagaimana diterangkan dalam sunnah Rasulullah Saw. baik yang sudah diketahui secara langsung maupun yang di-qiyas-kan kepadanya. Al-Qurthubi (w. 671 H) dalam Tafsir al-Jaami' li Ahkam al-Qur'an, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata "???? ???????? " (hak yang pasti) pada Al-Qur'an surat Adz-Dzariyat ayat 19 adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya.

Sementara itu, para peserta Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya. Dalam pasal 11 ayat (2) Bab IV Undang-undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: a) emas, perak, dan uang; b) perdagangan dan perusahaan; c) hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan; d) hasil pertambangan; e) hasil peternakan; f) hasil pendapatan dan jasa; dan g) rikaz.

Kelima, zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlangsungan program pengentasan kemiskinan dalamjangka waktu yang cukup panjang.

Strategi Pembangunan Kemandirian Ekonomi

Melihat potensi zakat sedemikian besar, maka selayaknya ia dapat digunakan sebagai instrument dalalm pembangunan perekonomian terutama di daerah-daerah yang telah memiliki sistem untuk menerapkan zakat secara luas. Karena sejatinya pembangunan nasional tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah pusat, tetapi juga membutuhkan peran serta daerah dalam mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimiliki.
Setidaknya ada tiga langkah, kita bisa menyebutkan strategy, yang dapat bersama-sama kita lakukan untuk membangun sistem yang mampu mendukung pembangunan kemandirian ekonomi dengan zakat sebagai salah satu tiang utama (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).

Strategi pertama adalah free financing access. Satu upaya untuk mengurangi kemiskinan adalah dengan menekan jumlah pengangguran. Kemiskinan dan pengangguran bagaikan dua sisi mata uang. Kemiskinan terutama terjadi karena masyarakat tidak memiliki pekerjaan untuk memenuhii kebutuhan ekonominya. Dengan kata lain dengan menyediakan akses pekerjaan maka pembangunan ekonomi dapat berjalan sehingga kemiskinan dapat dikurangi.
Dalam sistem ekonomi islam, bagi mereka yang mau berusaha maka akan disediakan akses dana secaraluas, dan tanpa jaminan bagi mereka yang tidak mampu. Artinya yang diciptakan adalah entrepreneur, bukan lapangan kerha itu sendiri. Dalam sebuah hadits Rasulullah pernah mengatakan "hendaklah kamu berbisnis karena 90% pintu rezeki ada dalam bisnis" (HR. Ahmad).

Masyarakat dapat bekerja jika diberikan kesempatan dan akses dana yang cukup luas bagi mereka yang mau dan mampu untuk menciptakan usaha. Kita sama-sama tahu bahwa pada sistem kapitalisme, bunga menjadi harga bagi mereka yang membutuhkan dana, dan ketersediaan jaminan. Tentu saja fakta berbicara ini menjadi penghambat bagi mereka yang tidak mampu menyediakan usaha. Dan mereka harus membayar bunga yang pasti untuk suatu yang balum tentu akan menguntungkan.

Sumber dana untuk pembiayaan usaha ini dapat diperoleh dari pemerintahan, sector perbankan, BMT maupun dana zakat/wakaf produktif. Pada dasarnya pemerintahan baik melalui departemen terkait maupun lewat lembaga social masyarakat, badan usaha Negara maupun swasta, dan institusi-institusi lembaga keuangan memiliki anggaran tetap untuk pembiayaan baik social maupun komersial yang dalam hal ini sangatlah besar. Sebagai ilustrasi, kredit usaha pedesaan (Kupedes) BRI pada tahun 2002 saja mampu mencapai Rp. 12 trilyun. Hanya saja permasalahannya penyaluran dana-dana tersebut masih belum terintegrasi dalamsatu sistem. Artinya mekanisme yang dilakukan dalam penyediaan dana bagi enterpreneuship masih dilakukan secara terpisah oleh masing-masing institusi yang potensial tersebut. Karena itu diperlukan upaya untuk menciptakan mekanisme yang terkoordinasi dan sistemik.

Tentunya pasti muncul pertanyaan bagaimana jika muncul moral hazard atau mengalami kerugian. Upaya meminimalisasi moral hazard terkait dengan sistem yang dibuat. Termasuk mekanisme pengawasan sekaligus pembinaan nilai-nilai islami pada masyarakat. Berbagai lembaga/badan amil zakat telah membuktikan hal ini di mana moral hazard sangat jarang terjadi karena memang pada kenyataannya mereka yang meminjam adalah orang-orang yang memang membutuhkan dana untuk usaha. Lagipula meraka melakukan pinjaman dana dalam nilai nominal yang relative kecil sehingga motivasi mereka tak lain hanya untuk berusaha. Lewat penanaman nilai islami mereka juga memahami sistem ekonomi yang jujur dan amanah sekaligus produkitf. Sedangkan dalam kasus kerugian maka pemerintah dengan dukungan sector Volunteer yaitu zakat dapat memberikan jaminan bagi usaha-usaha yang mengalami kerugian. Ini dibahas dalam strategi ketiga.

Strategi kedua adalah menerapkan prinsip profit Loss Sharing (PLS) secara baku dalam semua kegiatan perekonomian. Seluruh pembiayaan yang diberikan dalam strategi pertama diatas mutlak dilakukan dengan prinsp PLS. Setiap mereka yang melakukan usaha, baik yang memiliki dana maupun pata entrepreneur, mempunyai tanggungjawab yang adil proporsional dalam resiko maupun mencari keuntungan sehingga sistem bagi hasil adalah mekanisme yang terbaik. Tidak sperti sistem bunga yang cenderung hanya menguntungkan mereka para pemilik dana tanpa resiko.

Sistem dengan prinsip PLS juga mengedepankan hubungan antara sector moneter dan sector riil. Berbeda dengan sistem bungan yang dapat menggandakan uang secara semu, sistem PLS menjamin sinerginya pergerakan uang dengan pembangunan ekonomi secara nyata. Ini menjamin bahwa penerapan prinsip PLS secara menyeluruh dalam perekonomian akan memberikan kontribusi derivative berupa penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Dalam kaitan dengan prinsip PLS (profit loos sharing) ini menarik sekali perkembangan lembaga keuangan syariah (LKS), yang menunjukkan trend yang menggembirakan, meskipun masih sangat kecil dan sedikit jika dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional (LKK). Salah satu perbedaan mendasar LKS dengan LKK adalah terletak pada mekanisme pembagian keuntungan (return). Pada LKK berdasarkan sistem bunga (fixed return), sedangkan LKS pada profit loss sharing dan sektor riil.
Perbankan syariah menunjukkan kinerja yang cukup baik. Tabel berikut ini menunjukkan beberapa indikator perkembangan industri perbankan syariah di tanah air.
Tabel Beberapa Indikator Perbankan Syariah 2000 - 2007

No
Indikator
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007*
1
Jumlah BUS (Bank Umum Syariah)
2
2
2
2
3
3
3
3
2
Jumlah UUS (Unit Usaha Syariah)
3
3
6
8
15
19
20
22
3
Jumlah BPRS
79
81
83
84
88
92
105
105
4
Total Aset (dalam juta rupiah)
-
-
-
7,858,918
15,325,997
20,879,849
26,722,030
28,367,648
5
Total Dana Pihak Ketiga (dalam juta rupiah)
-
-
-
5,724,909
11,862,117
15,582,329
20,672,181
22,007,608
*Per April 2007
Keterangan : - (data tidak tersedia)
Sumber : Bank Indonesia (diolah)
Industri perbankan syariah pun memiliki perhatian yang sangat besar terhadap usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pada tahun 2006, dari Rp 20,4 trilyun pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah di tanah air, 72,74% di antaranya disalurkan kepada sektor UMKM. Meski demikian, prosentase pembiayaan bank syariah untuk sektor pertanian masih sangat kecil, yaitu 3,43% per Desember 2006. Sedangkan per April 2007, prosentasenya menurun menjadi 3,0% (Bank Indonesia, 2007).

Mengapa sektor pertanian perlu mendapatkan perhatian? Karena sektor ini memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut dicirikan oleh berbagai hal. Pertama, besarnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Badan Pusat Statistik (2006) melaporkan bahwa pada tahun 2005 ada sekitar 94,95 juta penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas yang menyatakan "bekerja selama seminggu yang lalu". Kurang lebih 41,8 juta dari total penduduk yang bekerja tersebut (44%) menyatakan bahwa mereka bekerja di sektor pertanian dalam arti luas (pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan dan peternakan). Sekitar 18,9 juta orang (20%) bekerja di sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel, dan 11,6 juta orang (12,3%) bekerja di sektor industri pengolahan. Data ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang menyerap paling banyak tenaga kerja.

Kedua, besarnya luas lahan yang digunakan. BPS (2006) menyebutkan bahwa 71,33% dari seluruh luas lahan yang ada di Indonesia digunakan untuk usaha pertanian yang meliputi: tegal/ladang/kebun/huma, tambak, kolam/tebat/empang, lahan untuk tanaman kayu-kayuan, perkebunan negara/swasta dan sawah. Besarnya penyerapan tenaga kerja dan luasnya lahan yang digunakan untuk usaha pertanian, merupakan dua faktor penting yang memberikan argumentasi kuat bahwa pembangunan sektor pertanian merupakan pilihan strategis dan harus mendapat prioritas utama dalam kerangka pembangunan nasional. Ini berarti bahwa pembangunan nasional harus bertumpu dan memiliki landasan yang kuat pada sektor pertanian, karena berhasilnya pembangunan sektor pertanian memiliki makna berhasilnya pembangunan nasional yang akan dinikmati sebagian besar penduduk Indonesia.
Walaupun sektor pertanian menyerap jumlah tenaga kerja yang paling banyak dan menggunakan sebagian besar lahan yang ada, namun sumbangan sektor tersebut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak sebesar konstribusinya dalam penyerapan tenaga kerja dan penggunaan lahan. Pada tahun 2005, jumlah PDB Indonesia atas dasar harga konstan tahun 2000 adalah sebesar Rp1749,5 triliun (BPS, 2006). Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan memberikan kontribusi sebesar Rp 254,9 triliun (13,4% dari total PDB).

Lapangan usaha yang paling besar kontribusinya terhadap PDB pada tahun 2005 adalah sektor industri bukan-migas, yaitu sebesar 23%. Subsektor industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau merupakan salah satu subsektor pada sektor industri bukan-migas yang sangat penting, di mana subsektor ini menyumbang 6,52% terhadap total PDB Indonesia. Subsektor tersebut sangat erat kaitannya dengan sektor pertanian, karena sebagian besar bahan baku utama dari subsektor tersebut berasal dari komoditas hasil pertanian. Jika PDB yang berasal dari sektor pertanian dan subsektor makanan, minuman dan tembakau digabung, maka kontribusinya terhadap PDB menjadi sebesar 20%. Angka tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan besarnya persentase penyerapan tenaga kerja oleh sektor pertanian.

Besarnya peran sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja membawa implikasi betapa pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia. Namun besarnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak diikuti oleh besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap PDB, menyiratkan banyaknya masalah dan kendala di sektor pertanian yang harus dipecahkan bersama-sama.

Strategi ketiga adalah mengoptimalkan zakat dan sebagai Investment Safety Net. Dalam rangka pengentasan kemiskinan, diperlukan kerjasama antara Badan atau Lembaga Amil Zakat dengan Lembaga Keuangan Syariah. Lembaga Keuangan Syariah yang berorientasi pada sektor riil akan berhasil dan berjalan dengan baik, manakala mendapatkan dukungan dari BAZ maupun LAZ sebagai penjamin dana kemitraan. Orang-orang miskin yang memiliki keinginan maupun kemampuan untuk melakukan kegiatan usaha kecil bisa mendapatkan dana dari Lembaga Keuangan Syariah, seperti BPRS atau BMT dan penjaminnya adalah BAZ atau LAZ yang telah mengalokasikan sebagian besar dananya untuk zakat produktif. Kenapa demikian? Adalah wajar jika dalam melakukan kegiatan usaha, para pelaku usaha mengalami kerugian tentu menjadi pertimbangan setiap pelaku usaha. Lembaga keuangan tentu akan memberikan pertimbangan mengeluarkan pinjaman terhadap resiko seperti ini. Nah solusi yang mungkin diterapkan adalah menyediakan jaminan ganti rugi bagi mereka yang melakukan investasi terpi mengalami kerugian. Zakat bersama dengan wakaf dapat juga dialokasikan bagi pembiayaan produktif sehingga bagi mereka yang tidak mampu menyediakan jaminan tetap dapat memperoleh dana untuk investasi usaha.

Dari estimasi dan realisasi di awal tulisan, kita bisa melihat bahwa potensi sumber dana ini mencapai puluhan trilyun setiap tahun. Kita bisa mengalokasikan sebagian dana zakat yang terkumpul untuk cadangan jaminan kerugian invesatsi. Secara fiqih mereka yang mengalami kerugian dapat kita golongkan termasuk gharimin. Orang yang berutang karena itu mereka juga punya hak terutama memperoleh zakat.

Zakat Melalui Amil Zakat

Akan tetapi hal yang perlu dicatat, zakat akan berperan dalam penanggulangan kemiskinan, jika dikelola oleh Amil Zakat, bukan dilakukan oleh muzakki secara langsung kepada mustahiq. Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. At-Taubah [9] ayat 60 dan ayat 103.
Dalam surat at-Taubah ayat 60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) adalah orang-orang yang bertugas mengurus urusan zakat ('amiliina 'alaiha). Sedangkan dalam QS. At-Taubah [9] ayat 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahiq). Yang mengambil dan menjemput tersebut adalah para petugas ('amil). Imam Qurthubi ketika menafsirkan ayat tersebut (at-Taubah [9]: 60) menyatakan bahwa amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam atau pemerintah) untuk mengambil, menulsikan, menghitung dan mencatat zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq).

Karena itu, Rasulullah Saw. pernah mempekerjakan seseorang pemuda dari 'Asad, yang bernama Ibnu Luthaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Pernah pula mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Mu'adz bin Jabal pernah di utus Rasulullah Saw. pergi ke Yaman, di samping bertugas sebagai da'i (menjelaskan ajaran Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadil amil zakat. Demikian pula yang dilakukan oleh para Khulafaur-rasyidin sesudahnya, mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki (orang yang memiliki kewajiban berzakat) melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahiq, menunjukkan kewajiban zakat itu bukan semata-mata bersifat amal karitatif (kedermawanan), tetapi ia juga suatu kewajiban yang juga bersifat otoritatif (ijabari).
Dalam sunan Nasa'i, Rasulullah SAW menyatakan: "Barangsiapa memberikannya (zakat) karena berharap mendapatkan pahala, maka baginya pahala. Dan barangsiapa yang enggan mengeluarkannya, kami akan mengambilnya (zakat), dan setengah untanya, sebagai salah satu 'uzman (kewajiban yang dibebankan kepada para hama) oleh Allah SWT. Tidak sedikit pun dari harta itu yang halal bagi keluarga Muhammad." (HR. Nasa'i).

Dalam riwayat lain (Abu Dawud) dikemukakan bahwa ketika banyak orang mengingkari kewajiban zakat, di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau menyatakan: "Demi Allah! Saya akan memerangi orang yang memisahkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat. Sesungguhnya zakat itu hak yang terkait dengan harta. Demi Allah! Jika mereka menolah mengeluarkan zakat unta yang biasa mereka tunaikan kepada Rasulullah Saw., pasti akau akan memerainginya, karena penolakan tersebut." (HR. Abu Dawud).

Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat, apalagi yang mempunyai kekuatan hukum formal, akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain:

Pertama, lebih sesuai dengan petunjuk al-Qur'an, sunnah Rasul, para sahabat dan para tabi'in. 
Kedua, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat.
Ketiga, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. 
Keempat, untuk mencapai efisien dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat titik. 
Kelima, untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami. 
Keenam, sesuai dengan prinsip modern dalam indirect financial system

Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahiq, meskipun secara hukum syari'ah adalah syah, akan tetapi di samping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan.

Di negara kita, pengelolalan zakat diatur berdasarkan UU. No. 38 tahun 1999, tentang pengelolaan zakat dengan keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999, tentang pelaksanaan UU. No. 38 tahun 1999 dan keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000, tentang pedoman teknis pengelolaan zakat. Meskipun harus diakui dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya (tidak mau berzakat), tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat.
Dalam Bab II pasal 5 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan:
  1. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama.
  2. Meningkatkan fungsi dan peran pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
  3. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Dalam Bab III Undang-undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan pula bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, warits dan kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12 dan pasal 11 undang-undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30. 000.000,- (tiga puluh juta rupiah). Sanksi ini tentu dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakatnya kepada lembaga pengelola zakat.

Perkembangan pengelolaan zakat dalam beberapa tahun terahkir ini telah menunjukkan hal yang sangat menggembirakan. Dulu, banyak dari kita yang masih memandang zakat sebelah mata, zakat masih dianggap bagian dari kesadaran beragama belaka, sehingga belum layak dijadikan sebagai instrument kebijakan ekonomi. Tetapi zakat sekarang tidak lagi hanya berfungsi sebagai sumber penyangga pemerkonomian kaum lemah pada tingkat subsisten level, tapi diarahkan untuk bersifat produktif sehingga dapat menjadi salah satu tiang pembangunan ekonomi.

Pengelolaan zakat yang dulunya dilaksanakan secara tradisional dengan zakat fithrah sebagai sumber utamanya, kini telah mengalami perubahan yang signifikan. Sumber-sumber dala perekonomian modern dewasa ini semakin bervariasi dari mulai zakat penghasilan sampai melakukan mekanisme zakat produktif.
Zakat pun kini semakin menunjukkan perannya yang semakin strategis. Bahkan, zakat saat ini telah dianggap mampu sebagai solusi atas permasalahan utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam pembangunan ekonominya, yaitu kemiskinan dan pengangguran. Untuk itu, dibutuhkan komitmen kuat dari semua oihak untuk menyukseskan pembangunan ekonomi umat berbasis zakat di seluruh daerah Indonesia.

Program-program Strategis Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)

Sebagaimana diketahui bahwa BAZNAS adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 38/1999 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 1/2001 yang tugas pokoknya antara lain adalah mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat, sesuai dengan ketentuan syariah. Disamping tugas yang lain, seperti melakukan koordinasi dan sinergi dengan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
Ada lima program unggulan yang berskala nasional, yang kini sedang digarap oleh BAZNAS, yaitu:

Pertama, Program Indonesia Peduli. Program ini ditujukan untuk menanggulangi berbagai macam musibah di berbagai macam daerah, yang sering terjadi di Indonesia, seperti di Aceh, Yogyakarta, Bengkulu dan di tempat-tempat lainnya. Program ini dilakukan mulai dari tahap darurat sampai membangun kembali sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Di Aceh misalnya, telah didirikan beberapa buah pesantren, madrasah, baitul maal wa at-tamwil (BMT) atau Baitu Qiradh, dan pendirian kios-kios di pasar tradisional.
Di Yogyakarta telah didirikan rumah-rumah untuk masyarakat yang rumahnya hancur terkena bencana, madrasah sampai dengan tingkat Aliyah. Kini sedang digarap pipanisasi air bersih untuk kebutuhan masyarakat Gunung Kidul, demikian pula di tempat-tempat yang lain.

Kedua, Program Indoensia Makmur. Program ini ditujukan untuk menumbuhkan kemandirian mustahiq, dan syukur-syukur menjadi muzakki. Antara lain dengan didirikan kampung ternak di beberapa daerah, pelatihan wirausaha/wiraswasta, pemberian modal usaha bagi pengusaha ekomi lemah, dan lain sebagainya.

Ketiga, Program Indonesia Cerdas. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat dan meningkatkan kwalitas pendidikannya. Seperti program pemberian beasiswa dari tingkat dasar sampai tingkat Perguruan Tinggi; program SKSS (Satu Keluarga Satu Sarjana); yaitu memberikan beasiswa kepada para mahasiswa yang membutuhkan (dhu'afa), bekerjasama dengan Dikti dan Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi; mendirikan rumah pintar/taman bacaan, mobil pinta, dan sebagainya.

Keempat, Program Indonesia Sehat. Program ini ditujukan untuk memberikan pengobatan secara cuma-Cuma untuk dhu'afa dan masakin. Seperti mendirikan Rumah Sehat di halaman Masjid Sunda Kelapa, memperjalankan setiap hari mobil kesehatan lengkap dengan tim dokternya.

Kelima, Program Indonesia Taqwa. Program ini ditujukan untuk membangun dan memperkuat keimanan dan ketaqwaan masyarakat, melalui pengiriman da'i ke berbagai daerah, bekerjasama dengan ormas-ormas Islam, termasuk da'i zakat di kapal-kapal Pelni serta kaderisasi para ulama muda.

Tentu apa yang dilakukan BAZNAS sangat sedikit dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat. Tetapi, mudah-mudahan memberikan solusi terhadap persoalan dan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia.

Wallahu A'lam bi ash-Shawab.


DAFTAR PUSTAKA
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
_________________, Peran Pembiayaan Syariah dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia (orasi ilmiah Guru Besar Ilmu Agama Islam IPB), 2007.
Mustafa Edwin Nasution, Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah.
Tim Institut Manajemen Zakat, Profil 7 BAZDA Propinsi dan Kabubaten Potensial di Indonesia, Jakarta: PT Mitra Cahaya Utama, 2006.

WUJUDKAN CITA-CITA ANAK KORBAN TSUNAMI


Tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004 lalu, meninggalkan kenangan tersendiri bagi Sahrul Riza.  Meski ditinggalkan ayahanda tercinta karena Gelombang Tsunami, pria asal Desa Rabo Kecamatan Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar tetap optimis menatap masa depannya.

Berawal dari informasi yang ia peroleh dari kakak perempuannya bahwa ada sebuah penampungan anak-anak yatim korban Tsunami yang bernama Rumoh Aneuk Aceh (RAA) terletak di daerah Geceu Iniem, Banda Aceh yang di biayai oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang bekerjasama dengan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) serta BUMN Peduli, Sahrul ingin mewujudkan mimpinya.

Di rumoh Aneuk Aceh ini Sahrul belajar banyak hal hingga ia  bisa mengerti arti kehidupan kembali setelah Tsunami merenggutnya. Di RAA ini ia mendapatkan semua yang ia butuhkan, mulai dari buku bacaan, pakaian, dan lainnya.

Terakhir ia pindah ke sebuah pesantren, namanya Darul Hijrah. Dulu pesantren ini terletak di daerah Krueng Raya dan setelah Tsunami sempat pindah ke beberapa tempat hal ini memang untuk mempertahankan eksistensinya agar tidak berhenti dalam memberikan ilmu kepada santri-santrinya dalam rangka menyelamatkan tunas bangsa, walaupun harus menumpang di gedung pesantren dan sekolah lain. Akhirnya Pesantren ini menetap di daerah Samahani kec.Kuta Malaka kab. Aceh Besar.
Di Pesantren Darul Hijrah ini Sahrul  menjalani hidup dengan normal karena semuanya perlengkapannya sudah disediakan oleh BAZNAS baik itu tempat tidur , pakaian, makan, dan buku-buku serta uang jajan.


Menurut Sahrul,  BAZNAS tidak salah tempat dalam memilih sekolah buat ia dan teman-temannya. Karena Banyak hal yang bisa ia ketahui yang sebelumnya masih tidak pernah terpikirkan salah satunya adalah menggantungkan cita-cita setinggi-tingginya untuk menumbuhkan semangat yang kuat dan kontinue.

Sekarang Alhamdulillah, dengan uang zakat yang diberikan para muzakki melalui BAZNAS,  Sahrul sudah menempuh S1 di Sebuah Sekolah Teknik Penerbangan binaan TNI AU di Yogyakarta yang bernama Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA). Semua biaya kuliah dan kehidupan Sahrul ditanggung oleh BAZNAS.

Agustus ini InsyaAllah akan datang juga beberapa adik-adik Sahrul dari Aceh ke Jogja untuk melanjutkan kuliah atas beasiswa dari BAZNAS. Tak hanya itu, BAZNAS pun telah menyiapkan asrama dekat kampus untuk anak-anak korban Tsunami agar mereka bisa menggapai cita-cita yang lebih tinggi.

Harapan Sahrul,  semoga BAZNAS bisa membiayai anak-anak lain seperti dirinya  untuk menuju Indonesia cerdas.

Syaiful Anwar

GEDUNG SEKOLAH PUN JADI CAMP PENGUNGSIAN


Pakistan- Kondisi memprihatinkan kembali terlihat di camp pengungsian Gout High School, Babara Provinsi Queber Pacthonkwa Pakistan. Pasca banjir yang merendam lebih dari seperlima negara Pakistan atau seluas negara Italy itu membawa luka bagi masyarakat sekitar Dalla Charsada Pakistan.

Keprihatian terlihat pada Senin (30/8) ketika 150 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1000 orang berkumpul disebuah sekolah yang disulap menjadi camp pengungsian. Setiap ruang kelas sudah berubah menjadi tempat tidur yang hanya beralas tikar seadanya.


Diluar halaman sekolahpun tampak anak-anak mulai dihibur oleh para relawan yang datang untuk memberikan perhatian kepada masyarakat yang hidup masih dibawah garis kemiskinan.
Sementara anak-anaknya dibawah tenda sedang belajar menyanyi dan mewarnai, ibu-ibu di camp tersebut sedang banyak yang mengantri untuk mendapatkan pengobatan gratis dari tim kemanusiaan dan kesehatan.


Di sini selain membutuhkan makanan dan obat-obatan, para pengungsipun membutuhkan air bersih, peralatan dapur yang hanyut dibawa banjir, kelambu, piring, gelas, panci dan lainnya. Banjir yang menimpa Pakistan sebesar ini tidak pernah terjadi dalam 100 tahun terakhir. Lebih dari 20 juta rakyat terkena dampaknya.


Syaiful Anwar

PRESIDEN SALURKAN ZAKATNYA KE BAZNAS

Add caption
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Presiden Indonesia, Dr H Susilo Bambang Yudhoyono  (SBY) menyerahkan zakat atas penghasilannya secara rutin melalui BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional).

Bertempat di Istana Negara Jakarta, pada Rabu (8/9) pengurus BAZNAS diterima Presiden. Pada kesempatan itu Presiden RI melakukan pembayaran zakat fitrahnya Rp 2.275.000 dan zakat penghasilannya Rp 24.067.200  yang langsung diterima ketua umum BAZNAS, Didin Hafidhuddin.

Dalam kesempatan tersebut,Ketua Umum BAZNAS  Didin Hafidhuddin mengucapkan terima kasih atas perhatian dan dukungan  Presiden dan Menteri Agama, sehingga BAZNAS dapat melaksanakan tugas pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat di tingkat nasional serta melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai zakat secara berkelanjutan di tengah masyarakat.

Tak hanya itu, pengurus BAZNAS melaporkan perkembangan pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS dan lembaga pengelola zakat lainnya yang bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam silaturahim tersebut SBY berjanji pada Oktober depan akan memfasilitasi BAZNAS dalam pertemuan sidang kabinet terbatas dan akan mengundang KADIN dalam rangka membahas potensi zakat di Indonesia.

Dalam laporannya, BAZNAS memberikan angka untuk pengumpulan dana zakat secara nasional yang mencakup penerimaan infaq dan shadaqah pada tahun 2009 oleh semua lembaga pengelola zakat adalah sebesar Rp 1,2 triliun, dan tahun 2010 ini BAZNAS memprediksikan penerimaan dana ZIS  bisa mencapai Rp 1,5 triliun.

Sedangkan untuk pendistribusian dan pendayagunaan dana ZIS (Zakat, Infak dan Sedekah) BAZNAS telah menjalankan 5 (lima) program secara garis besarnya yaitu, Indonesia Peduli (kemanusiaan), Indonesia Sehat (kesehatan), Indonesia Cerdas (pendidikan), Indonesia Makmur (ekonomi), dan Indonesia Takwa (dakwah dalam arti luas). 

Pengurus BAZNAS mengucapkan terima kasih kepada Presiden yang telah menyalurkan zakat melalui BAZNAS. Keteladanan Presiden sebagai seorang Muslim, yang setiap tahun membayar zakat melalui BAZNAS, diharapkan memberi pengaruh positif bagi para pejabat negara lainnya dan segenap umat Islam di Indonesia, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada badan amil zakat yang dibentuk oleh Pemerintah.
Syaiful Anwar
"Salam Pengurus Kantor Baitul Mal Kabupaten Aceh Selatan"