OLEH : BAITUL MAL ACEH
Sejak agama Islam masuk ke Aceh ( abad ke-7 M), pegangan utama bagi penyebar dan penganut Islam adalah Mazhab Syafiie. Tata cara pengelolaan zakat pada waktu itu masih sangat tradisional, yaitu diserahkan pada kesadaran masing -masing yang selanjutnya menyerahkan kepada para ulama setempat atau lembaga pengajian / rumah ibadah. Pemanfaatannya juga terserah kepada penerima zakat apakah akan dibagi kepada asnaf-asnaf tertentu atau dimanfaatkan untuk kepentingan rumah ibadah / penyebaran agama disuatu tempat. Pemahaman kewajiban zakat dikalangan masyarakat umum juga sebatas pada zakat fitrah dan zakat padi hasil pertanian. Adapun nishab zakat padi apabila sudah mencapai 6 gunca (1.200 Kg gabah) wajib dikeluarkan zakatnya 10% (6 naleh = 120 Kg) untuk sawah tadah hujan dan 5% untuk sawah yang beririgasi. Disamping itu kewajiban zakat mal lain terbatas pada zakat perniagaan yaitu sebesar 2 ½ % dari jumlah keuntungan yang diperoleh setiap tahun. Sedangkan pembayaran zakat ternak sangat terbatas, karena jumlah ternak yang dimiliki masyarakat pada umumnya jauh dibawah nishab yang ditetapkan syariat. Jenis zakat lainnya kurang dipahami masyarakat, karena kesadaran berzakat masih sangat rendah sebagai akibat kurangnya sosialisasi.
Kondisi ini telah berkembang ± 13 abad baik secara nasional maupun daerah, hal ini disadari oleh Pemerintah Aceh kurang menguntungkan dalam perkembangan syariat Islam di bumi Serambi Mekkah. Rintisan awal dimulainya campur tangan pemerintah dalam pengelolaan zakat di Aceh diwujudkan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 05 tahun 1973 tanggal 4 April 1973 melalui pembentukan Badan Penertiban Harta Agama (BPHA) yang dikoordinasikan di bawah Sekretariat Daerah untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Sekretariat Kecamatan. Badan ini selanjutnya berada pada tingkat Provinsi, Kabupaten / Kota dan Kecamatan. Dua tahun kemudian (1975) BPHA dirubah menjadi BHA (Badan Harta Agama).
Sehubungan dengan adanya SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1991 tentang Pembentukan BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah) BHA di Aceh dirubah menjadi BAZIS pada tahun 1993. Agak sedikit berbeda dengan BAZIS daerah lain secara Nasional, BAZIS di Aceh mempunyai 4 tingkatan, yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Gampong (Pedesaan). Penambahan tingkat gampong sehubungan dengan perkembangan sejarah Aceh sejak zaman Sultan Iskandar Muda yang sudah mempunyai Pemerintahan Otonom Gampong. Selama ± 10 tahun (1993-2003), perjalanan BAZIS di Aceh tidak begitu berkembang. Perkembangan yang agak menonjol terjadi antara tahun 1995 s/d 1998, sehubungan dengan pemotongan gaji PNS untuk pembayaran zakat penghasilan di Provinsi dan Kabupaten / Kota. Selanjutnya pengumpulan zakat melalui pemotongan gaji PNS tidak berjalan lancar sehubungan dengan adanya konflik keamanan yang hampir merata seluruh Aceh. Kegiatan BAZIS Provinsi juga terbatas pada pengumpulan zakat PNS serta permintaan setoran dari BAZIS Kabupaten/Kota sebesar 30% yang tidak begitu berjalan. Klimaks kegiatan BAZIS Provinsi adalah tahun 2003 dengan menerbitkan buku : ”Pernik-Pernik Manajemen Zakat” bulan September 2003 oleh Sekretariat BAZIS Provinsi NAD-Jalan Tuanku Imam Bonjol no.18 Banda Aceh. Sedangkan kegiatan pemeliharaan harta agama waktu itu masih didominasi oleh BHA Kecamatan, Kemukiman dan Gampong karena banyaknya asset harta agama berupa tanah wakaf ditempat-tempat tersebut.
Kehadiran U.U No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat yang berlaku secara nasional, tidak begitu bergema di Aceh. Disebabkan adanya U.U. No.44/1999 tentang Keistimewaan Aceh, yang menetapkan PERDA No.5/2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Salah satu dari 13 unsur pelaksanaan Syariat Islam di Aceh adalah pembentukan Badan Baitul Mal sebagai pengelola zakat dan harta agama lainnya. Berdasarkan PERDA Provinsi D.I Aceh No. 5/2000 dibentuklah BADAN BAITUL MAL melalui Keputusan Gubernur No. 18/2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal Provinsi NAD yang mulai beroperasi bulan Januari 2004. Kegiatan Badan Baitul Mal tersebut di dukung oleh Qanun No.7/2004 tentang Pengelolaan Zakat. Pembentukan Badan Baitul Mal ini erat kaitannya dengan kelahiran U.U No.18/2003 tentang OTSUS Prov. NAD, dimana zakat telah ditetapkan sebagai salah satu sumber PAD Provinsi dan PAD Kabupaten/Kota. Ketentuan tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena peraturan pelaksanaannya belum dikeluarkan.
Setelah Aceh dilanda tsunami akhir tahun 2004 dan ditandatanganinya MOU Helsinki tentang Perdamaian antara Pemerintah R.I dan GAM tanggal 15 Agustus 2005, lahirlah U.U No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menggantikan U.U No.18/2003. Kehadiran UUPA lebih memperjelas keberadaan zakat di Aceh yang dituangkan dalam 3 pasal:
- Pasal 180 ayat (1) huruf d disebutkan : “Zakat sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/Kota”.
- Pasal 191 : “ Zakat, harta wakaf dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kab./Kota yang diatur dengan Qanun”.
- Pasal 192 : “ Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak”.
Disamping amanah dari 3 pasal U.U No.11/2006 tersebut diatas yang mengatur tentang kewenangan Baitul Mal, juga adanya PERPU No.2/2007 yang selanjutnya menjadi U.U. No.48/2007 tentang Penyelesaian Masalah Hukum Pasca Tsunami di Aceh dan Nias. PERPU tersebut memperluas kewenangan Baitul Mal menjadi wali pengawas serta ditunjuk menjadi pengelola dari tanah, harta, serta rekening nasabah Bank yang tidak ada lagi/ tidak diketahui pemilik/ ahli warisnya. Semua ketentuan tersebut diatas dituangkan dalam Qanun Aceh No.10/2007 tentang Baitul Mal, yang di undangkan dalam Lembaran Daerah NAD No.10 tanggal 18 Januari 2008. Dengan demikian kehadiran “Baitul Mal” sebagai pengganti “Badan Baitul Mal” adalah bulan Januari 2008.